ELMATRIA

EKSPLORASI MATEMATIKA CERIA

Selasa, 16 Juli 2013

konstruktivisme

IMPLEMENTASI FILSAFAT KONSTRUKTIVISME
DALAM PROSES PEMBELAJARAN MATEMATIKA


MAKALAH
LANDASAN ILMU PENDIDIKAN







Oleh :
YURIDIS M.D.A













ABSTRAK

Filsafat konstruktivisme merupakan cara berpikir yang menganggap bahwa cara mendapat pengetahuan adalah melalui proses konstruksi secara aktif. Konstruksi tersebut terjadi melalui interaksi manusia terhadap objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan. Teori konstruktivisme menekankan untuk lebih memberikan tempat kepada siswa/subjek didik dalam proses pembelajaran daripada guru atau instruktur. Peranan guru dalam pendekatan kontruktivisme bukan menjelaskan seluruh informasi secara langsung kepada siswa, tetapi mengarahkan siswa untuk mengkontruksi pengetahuan. Teori belajar yang mendasarkan pada prinsip konstruktivisme diantaranya adalah: Teori perkembangan kognitif oleh Jean Piaget, Teori perkembangan sosial oleh Vygotsky, Teori belajar bermakna oleh Ausubel. Sebagai seorang pendidik anak bangsa khususnya di bidang matematika, sangat penting untuk memahami filsafat konstruktivisme. Hal tersebut dikarenakan prinsip – prinsip dalam konstruktivisme sangat memungkinkan untuk menanamkan konsep matematika secara dalam, aplikatif untuk konsep yang lebih luas, dan aplikatif untuk memecahkan persoalan di kehidupan sehari-hari. Implementasi filsafat konstruktivisme dalam pembelajaran matematika dapat diwujudkan dengan melaksanakan proses pembelajaran matematika yang variatif sesuai prinsip – prinsip konstruktivisme.

Kata kunci: filsafat konstruktivisme, pembelajaran matematika










A.           PENDAHULUAN

Kata filsafat berasal dari kata bahasa Yunani philosophia yang terdiri dari dua akar kata yaitu philien yang berarti cinta dan sophos yang berarti kebijaksanaan. Arti philosophia adalah mencintai hal – hal yang bersifat bijaksana. Menurut Rene Descartes dalam (Susanto, 2010:3), filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikannya. Sedangkan Al-Kindi, seorang filosof muslim pertama, mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori adalah mencari kebenaran, maka dalam praktiknya pun harus menyesuaikan dengan kebenaran pula. Jadi dapat dipahami, bahwa Filsafat adalah pengetahuan yang  memandang segala sesuatu untuk disajikan dalam kalimat yang setepat-tepatnya sehingga tercipta suatu azas, peraturan, kebijaksanaan, dan metode. Seringkali penyajian definisi tentang sesuatu itu berbeda-beda antara manusia satu dengan lainnya, tetapi masih memiliki kesamaan pola pikir dalam menyusun suatu definisi.
Dari filsafat inilah muncul banyak kebijaksanaan, aturan, azas, dan pendekatan, di berbagai bidang pengetahuan. Salah satu nya di bidang pendidikan. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi yang handal di bidang tertentu untuk kemajuan hidup pribadi tersebut maupun orang lain.  Pendidikan sangat diperlukan dalam membentuk manusia yang berkualitas. Secara alami, manusia membutuhkan pendidikan semenjak baru lahir hingga akhir hayat dengan bentuk dan sumber yang berbeda beda. Pendidikan dapat mengembangkan potensi-potensi manusiawi, baik potensi fisik potensi cipta, rasa maupun karsa. Dengan pendidikan, potensi seseorang dapat berkembang dan berfungsi untuk kemajuan hidupnya dan hidup orang lain.
Filsafat pendidikan mendasarkan filsafat sebagai pola pikir. Pemikiran para filusuf mengenai pendidikan sudah banyak menghasilkan teori – teori belajar yang sangat berguna sebagai pedoman para pelaku dunia pendidikan untuk mengembangkan pendidikan yang berkualitas.  Pendidikan yang berkualitas memerlukan proses yang berkualitas pula. Sejak jaman dahulu hingga sekarang penelitian di bidang pendidikan yang menghasilkan teori – teori belajar.  Teori – teori tersebut memiliki tujuan yang searah yaitu terciptanya pendidikan yang bermutu.
Pendidikan yang bermutu tentunya sangat tergantung dari aktivitas dalam pendidikan tersebut. Salah satu aktivitas dalam pendidikan adalah aktivitas pembelajaran formal, yaitu aktivitas pembelajaran yang diadakan di sekolah. Filsafat pendidikan menekankan aktivitas pembelajaran yang ada di sekolah sebagai pembahasan utama. Perlu adanya filsafat pendidikan agar para pelaku di dunia pendidikan khususnya pendidik di kelas memiliki pedoman dan pandangan mengenai kegiatan belajar mengajar di kelas. Pendidik harus memiliki pedoman agar kegiatan belajar mengajar nya selalu fokus pada sasaran hendak dicapai. Jadi, pendidik tidak asal-asalan mengenai aktivitas belajar – mengajar tersebut. Pendidik perlu merancang pembelajaran yang variatif menyesuaikan kondisi peserta didik, sehingga diperoleh hasil yang optimal.
Di era sekarang, masih sering kita dengar berbagai masalah di dunia pendidikan khususnya masalah sulitnya mata pelajaran matematika. Berdasarkan pengamatan penulis melalui dialog dengan para siswa, banyak sekali alasan seorang siswa sangat membenci matematika. Salah satu alasan yang klasik adalah matematika itu sulit. Sedangkan alasan yang lain: gurunya sering marah, gurunya kaku, pembelajarannya membosankan, dan sebagian topic matematika dianggap tidak berguna untuk kehidupan sehari – hari. Berbagai alasan tersebut seharusnya menjadi cambuk bagi guru. Guru seharusnya semakin merasa tertantang untuk mengikis habis berbagai kekhawatiran siswa pada matematika. Atau setidaknya guru harus berusaha meminimalisir permasalahan tersebut dengan menciptakan sesuatu yang membuat matematika menjadi bagian yang indah dalam kehidupan siswa.  
Salah satu cara yang dapat dijadikan pilihan pendidik untuk menciptakan citra yang baik terhadap matematika adalah dengan menciptakan proses pembelajaran yang memberikan kesan mudah dimengerti, dapat diingat secara tahan lama, dan menyenangkan. Salah satu pendekatan dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan paparan di atas adalah pendekatan kontruktivisme.
Konstruktivisme merupakan aliran filsafat yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan kostruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2005:3). Pendidikan harus terpusat pada anak, bukan memfokuskan pada guru atau mata pelajaran. Anak juga harus dilatih berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya. Keaktifan anak dalam proses belajar di kelas harus benar-benar ditumbuhkan dan dipantau. Melalui proses seperti itu anak akan merasa ikut membangun pengetahuan untuk dirinya sendiri. Ibarat kita belajar membuat kopi, apabila kita belajar dengan mempraktikan membuat kopi tentu  akan lebih cepat mampu daripada kita hanya belajar tanpa praktik langsung. Begitu pula untuk matematika, apabila siswa merasa terlibat dalam menemukan suatu rumus atau menemukan bagaimana cara memperdalam suatu konsep, tentunya selain mudah dimengerti tentunya juga akan diingat secara tahan lama.  Sehingga pendekatan konstruktivisme diharapkan dapat mengembangkan kemampuan siswa berkaitan dengan pembelajaran matematika, yaitu penguasaan konsep matematika, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan bernalar dan berkomunikasi serta kemampuan berpikir kreatif dan inovatif. Dalam makalah ini penulis akan membahas secara lebih detail mengenai apa itu filsafat konstruktivisme, bagaimana prinsip-prinsip pembelajaran berdasarkan pendekatan konstruktivisme, dan bagaimana implementasi filsafat konstruktivisme dalam pembelajaran matematika.
Pengertian Filsafat Kontruktivisme dalam Pembelajaran
Filsafat kostruktivisme mendasarkan pada pola pikir dimana pengetahuan dibangun (dikonstruk) siswa secara aktif bukan diterima secara pasif dari guru (Suparno,1997). Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme bersifat generatif, yaitu menciptakan makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan baru, apa yang kita lewati dalam kehidupan ini merupakan rangkaian pembelajaran, pembentukan karakter, dan pembinaan diri melalui pengalaman demi pengalaman. Pengetahuan seseorang akan terus berkembang secara alami seiring pergantian waktu. Hal tersebut menjadi dasar dari konsep umum dalam teori konstruktivisme, yaitu  pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada. Guru bukan satu-satunya pusat informasi, tetapi guru diposisikan sebagai fasilitator yang memfasilitasi siswa dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuanya sendiri (Hudoyo, 1998:5-6).  
Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka melalui proses penyusunan pengetahuan terdahulu dengan pembelajaran terbaru. Dapat juga dengan membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada. Pengetahuan awal ini sebaiknya pengetahuan yang benar – benar dimiliki siswa. Dengan pengetahuan yang dimiliki siswa sekecil apapun diperlukan untuk melangkah ke pengetahuan baru. Pendidik harus merancang suatu kegiatan belajar yang dapat memberikan pengalaman belajar untuk siswa, menyediakan bahan ajar yang menarik, dan memberikan apresiasi atas gagasan – gagasan siswa. (Suherman dkk, 2001:76). Meskipun gagasan siswa kurang tepat, tetapi pendidik harus mengupayakan untuk tidak menghakimi gagasan tersebut dengan negative, tetapi mengarahkan gagasan siswa kea rah positif dengan mengarahkan pada gagasan yang lebih tepat. Bagaimanapun juga motivasi dan kesan belajar yang menarik merupakan hal yang sangat ditekankan dalam teori konstruktivisme.
Menurut pandangan konstruktivisme anak secara aktif membangun pengetahuan dengan cara terus menerus mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru, dengan kata lain teori kostruktivisme adalah teori perkembangan kognitiif yang menekankan peran aktif siswa dalam membangun pemahaman mereka tentang realita (Slavin, 1994: 225). Jadi, pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia itu sendiri melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Dalam konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu, keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.
Beberapa kendala dalam konstruktivisme, diantaranya adalah keterbatasan pengalaman awal dari siswa, maupun keterbatasan pengetahuan awal siswa. Hal tersebut tentunya bisa menjadi persoalan bagi siswa maupun guru. Oleh karena itu guru perlu memilih strategi yang sesuai. Guru bisa memilih apakah perlu memaksa siswa tersebut berpikir keras memanggil pengetahuan awalnya, atau guru menyajikan lagi pengetahuan awal itu, atau guru memulai secara tahap demi tahap. Kendala dari guru adalah kemauan keras dari guru untuk mennyelenggarakan model pembelajaran yang variatif. Terkadang guru terlalu monoton dengan melaksanakan pembelajaran yang hanya itu itu saja.
Dalam sejarah perkembangan konstruktivisme terdapat pemikiran yang berbeda-beda, namun semua berdasarkan pada asumsi dasar yang sama tentang bagaimana proses belajar manusia. Beberapa teori konstruktivisme yang paling terkenal adalah konstruktivisme kognitif (Cognitive Constructivism) oleh Jean Piaget, konstruktivisme sosial (Social Constructivism) oleh Lev Vygotsky, dan Teori belajar bermakna oleh David Ausubel. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai tiga pendapat kostruktivisme tersebut.

B.     Konstruktivisme Jean Piaget (Teori Perkembangan Kognitif)
Jean Piaget adalah seorang filusuf yang berasal dari Swiss. Sewaktu muda dia tertarik pada alam dan senang mengamati kehidupan hewan-hewan di alam bebas, sehingga ia tertarik pada bidang biologi. Sejak usia 10 tahun ia sudah menerbitkan buku. Pada usia 21 tahun dia telah mendapat gelar doctor filsafat dengan disertasi tentang moluska. Setelah itu dia memutuskan untuk mendalami psikologi. Pendalamannya tentang filsafat meyakinkannya bahwa usaha spekulatif dari filsafat perlu dilengkapi dengan pendekatan ilmu pengetahuan yang factual.
Pada tahun 1920 Piaget bekerjasama dengan Dr. Theophile Simon mengembangkan tes penalaran kemudian diujikan. Dari hasil uji tersebut dia menyimpulkan bahwa perbedaan jawaban dikarenakan perbeadan intelegensi peserta. Berdasarkan pengalaman itu Piaget mengembangkan pemikiran bahwa: ada perbedaan proses pemikiran anak dengan orang dewasa. Anak bukan berpikir kurang efisien dari orang dewasa, tetapi berpikir berbeda dengan orang dewasa. Itulah sebabnya Piaget yakin bahwa ada perkembangan kognitif dari anak hingga dewasa. Selanjutnya Piaget meneliti ketiga anaknya sendiri dan menghasilkan teori tentang adanya tahap sensorimotorik. Piaget menyatakan bahwa pengertian dibentuk dari tindakan anak bukan dari bahasa anak.  
Piaget mengembangkan teori perkembangan kognitif tentang bagaimana anak belajar. Menurut Jean Piaget, dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengembangkan pengetahuan anak. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi obyektif.
Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget yaitu struktur, isi dan fungsi (Piaget , 1988: 61 ; Turner, 1984: 8).
  1. Struktur,  memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental dan perkembangan logis anak-anak.
  2. Isi, merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya.
  3. Fungsi, adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan kemampuan untuk mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Adaptasi, terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema (pola tingkah laku yang sudah ada) dalam pikirannya.. Proses asimilasi ini berjalan terus dan tidak menyebabkan perubahan skemata melainkan perkembangan skemata. Akomodasi, yaitu penciptaan skema baru dan pengubahan skema lama. Proses pembentukan pengetahuan diperoleh dari hubungannya dengan lingkungan sosial.. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium). Akibat ketidakseimbangan itu maka terjadilah akomodasi dan struktur kognitif yang ada akan mengalami perubahan atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Menurut Piaget  dalam (Suparno,2001:19)., tahap perkembangan inteluektual anak secara kronologis terjadi 4 tahap:
1.      Tahap sensorimotor : umur 0 – 2 tahun.
intelegensi anak lebih didasarkan pada tindakan indera anak terhadap lingkungannya, seperti melihat, meraba, menjamak, mendengar, membau dan lain-lain. Pada tahap sensorimotor, gagasan anak mengenai suatu benda berkembang dari periode “belum mempunyai gagasan” menjadi “ sudah mempunyai gagasan” yang belum terakomodasi dengan baik.   
Menurut Piaget, Tahap-tahap perkembangan kognitif anak dikembangkan dengan perlahan-lahan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema-skema anak karena adanya masukan, rangsangan, atau kontak dengan pengalaman dan situasi yang baru. Piaget membagi tahap sensorimotor dalam enam periode, yaitu:
a.      Periode 1 : Refleks (umur 0 – 1 bulan)
Periode paling awal tahap sensorimotor ini berkembang sejak bayi lahir sampai sekitar berumur 1 bulan. Tingkah bayi bersifat refleks, spontan, tidak disengaja.
b.      Periode 2 : Kebiasaan (umur 1 – 4 bulan)
Pada periode perkembangan ini, bayi mulai membentuk kebiasan-kebiasaan pertama. Kebiasaan dibuat dengan mencoba-coba dan mengulang-ngulang suatu tindakan. Refleks-refleks yang dibuat diasimilasikan dengan skema yang telah dimiliki dan menjadi semacam kebiasaan, dan menghasilkan sesuatu. Pada periode ini, seorang bayi mulai membedakan benda-benda di dekatnya. Bayi mulai mengikuti benda yang bergerak dengan matanya. Ia juga mulai menggerakkan kepala ke sumber suara yang ia dengar. Suara dan penglihatan bekerja bersama. Ini merupakan suatu tahap penting untuk menumbuhkan  konsep benda.
c.       Periode 3 : Reproduksi kejadian yang menarik (umur 4 – 8 bulan)
Pada periode ini, seorang bayi mulai menjamah dan memanipulasi objek apapun yang ada di sekitarnya. Tingkah laku bayi semakin berorientasi pada objek dan kejadian di luar tubuhnya sendiri. Ia mencoba menghadirkan dan mengulang kembali peristiwa yang menyenangkan diri (reaksi sirkuler sekunder).
d.      Periode 4 : Koordinasi Skemata (umur 8 – 12 bulan)
Pada periode ini, seorang bayi mulai membedakan antara sarana dan hasil tindakannya. Ia sudah mulai menggunakan sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan atau hasil. Bayi mulai mempunyai kemampuan untuk menyatukan tingkah laku yang sebelumnya telah diperoleh untuk mencapai tujuan tertentu. Pada periode ini, seorang bayi mulai membentuk konsep tentang tetapnya suatu benda. Dari kenyataan bahwa dari seorang bayi dapat mencari benda yang tersembunyi, tampak bahwa ini mulai mempunyai konsep tentang ruang.
e.       Periode 5 : Eksperimen (umur 12 – 18 bulan)
Pada perode ini anak memperkembangkan cara-cara baru untuk mencapai tujuan dengan cara mencoba-coba (eksperimen) bila dihadapkan pada suatu persoalan yang tidak dipecahkan dengan skema yang ada, anak akan mulai mencoba-coba dengan Trial and Error untuk menemukan cara yang baru guna memecahkan persoalan tersebut atau dengan kata lain ia mencoba mengembangkan skema yang baru. Pada periode ini, anak lebih mengamati benda-benda disekitarnya dan mengamati bagaimana benda-benda di sekitarnya bertingkah laku dalam situasi yang baru. Menurut Piaget, tingkah anak ini menjadi intelegensi sewaktu ia menemukan kemampuan untuk memecahkan persoalan yang baru. Pada periode ini pula, konsep anak akan benda mulai maju dan lengkap. Tentang keruangan anak mulai mempertimbangkan organisasi perpindahan benda-benda  secara menyeluruh bila benda-benda itu dapat dilihat secara serentak.
f.        Periode Refresentasi (umur 18 – 24 bulan)
Periode ini adalah periode terakhir pada tahap intelegensi sensorimotor. Seorang anak sudah mulai dapat menemukan cara-cara baru yang tidak hanya berdasarkan rabaan fisis dan eksternal, tetap juga dengan koordinasi internal dalam gambarannya. Pada periode ini, anak berpindah dari periode intelegensi sensori motor ke intelegensi refresentatif. Secara mental, seorang anak mulai dapat menggambarkan suatu benda dan kejadian, dan dapat menyelesaikan suatu persoalan dengan gambaran tersebut. Konsep benda pada tahap ini sudah maju, refresentasi ini membiarkan anak untuk mencari dan menemukan objek-objek yang tersembunyi. Sedangkan konsep keruangan, anak mulai sadar akan gerakan suatu benda sehingga dapat mencarinya secara masuk akal bila benda itu tidak kelihatan lagi.

2. Tahap Pra operasional : umur 2 -7 tahun.
Dalam tahap ini anak sangat egosentris, mereka sulit menerima pendapat orang lain. Anak percaya bahwa apa yang mereka pikirkan dan alami juga menjadi pikiran dan pengalaman orang lain. Mereka percaya bahwa benda yang tidak bernyawa mempunyai sifat bernyawa. Tahap ini dibedakan atas dua bagian. Pertama, tahap pra konseptual (2-4 tahun), dimana representasi suatu objek dinyatakan dengan bahasa, gambar dan permainan khayalan. Kedua, tahap intuitif (4-7 tahun). Pada tahap ini representasi suatu objek didasarkan pada persepsi pengalaman sendiri, tidak kepada penalaran.
Karakteristik anak pada tahap ini adalah sebagai berikut:
a)  Anak dapat mengaitkan pengalaman yang ada di lingkungan bermainnya dengan pengalaman pribadinya, dan karenanya ia menjadi egois. Anak tidak rela bila barang miliknya dipegang oleh orang lain.
b)    Anak belum memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang membutuhkan pemikiran “yang dapat dibalik (reversible).” Pikiran mereka masih bersifat irreversible.
c)    Anak belum mampu melihat dua aspek dari satu objek atau situasi sekaligus, dan belum mampu bernalar (reasoning) secara individu dan deduktif.
d)   Anak bernalar secara transduktif (dari khusus ke khusus). Anak juga belum mampu membedakan antara fakta dan fantasi. Kadang-kadang anak seperti berbohong. Ini terjadi karena anak belum mampu memisahkan kejadian sebenarnya dengan imajinasi mereka.
e)    Anak belum memiliki konsep kekekalan (kuantitas, materi, luas, berat dan isi).
f)    Menjelang akhir tahap ini, anak mampu memberi alasan mengenai apa yang mereka percayai. Anak dapat mengklasifikasikan objek ke dalam kelompok yang hanya mempunyai satu sifat tertentu dan telah mulai mengerti konsep yang konkrit.

3. Tahap operasi kongkret : umur 7 – 11/12 tahun.
Tahap operasi konkret (concrete operations) dicirikan dengan perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang logis. Anak sudah mengembangkan operasi logis. Operasi itu bersifat reversible, artinya dapat dimengerti dalam dua arah, yaitu suatu pemikiran yang dapat dikembalikan kepada awalnya lagi. Tahap opersi konkret dapat ditandai dengan adanya sistem operasi berdasarkan apa-apa yang kelihatan nyata/konkret.
Ciri-ciri operasi konkret yang lain, yaitu:
  1. Adaptasi dengan gambaran yang menyeluruh. Pada tahap ini, seorang anak mulai dapat menggambarkan secara menyeluruh ingatan, pengalaman dan objek yang dialami. Menurut Piaget, adaptasi dengan lingkungan disatukan dengan gambaran akan lingkungan itu.
  2. Melihat dari berbagai macam segi. Anak ada tahap ini mulai mulai dapat melihat suatu objek atau persoalan secara sediki menyeluruh dengan melihat apek-aspeknya. Ia tidak hanya memusatkan pada titik tertentu, tetapi dapat bersama-sama mengamati titik-titik yang lain dalam satu waktu yang bersamaan.
  3. Seriasi.  Proses seriasi adalah proses mengatur unsur-unsur menurut semakin besar atau semakin kecilnya unsur-unsur tersebut. Menurut Piaget, bila seorang anak telah dapat membuat suatu seriasi maka ia tidak akan mengalami banyak kesulitaan untuk membuat seriasi selanjutnuya.
  4. Klasifikasi Menurut Piaget, bila anak yang berumur 3 tahun dan 12 tahun diberi bermacam-maam objek dan disuruh membuat klasifikasi yang serupa menjadi satu, ada beberapa kemungkinan yang terjadi.
  5. Bilangan.Aanak pada tahap praoperasi konkret belum dapat mengerti soal korespondensi satu-satu dan kekekalan, namun pada tahap tahap operasi konkret, anak sudah dapat mengerti soal karespondensi dan kekekalan dengan baik. Dengan perkembangan ini berarti konsep tentang bilangan bagi anak telah berkembang.
  6. Ruang, waktu, dan kecepatan. Pada umur 7 atau 8 tahun seorang anak sudah mengerti tentang urutan ruang dengan melihat intervaj jarak suatu benda. Pada umur 8 tahun anak sudah dapat mengerti relasi urutan waktu dan koordinasi dengan waktu, dan pada umur 10 atau 11 tahun, anak sadar akan konsep waktu dan kecepatan.
  7. Probabilitas. Pada tahap ini, pengertian probabilitas sebagai suatu perbandingan antara hal yang terjadi dengan kasus-kasus yang mulai terbentuk.
  8. Penalaran. Dalam pembicaraan sehari-hari, anak pada tahap ini jarang berbicara dengan suatu alasan,tetapi lebih mengatakan apa yang terjadi. Pada tahap ini, menurut Piaget  masih ada kesulitan dalam melihat persoalan secara menyeluruh.
  9. Egosentrisme dan Sosialisme. Pada tahap ini, anak sudah tidak begitu egosentris dalam pemikirannya. Ia sadar bahwa orang lain dapat mempunyai pikiran lain.

4.    Tahap operasi formal: umur 11/12 ke atas.
Tahap operasi formal (formal operations) merupakan tahap terakhir dalam perkembangan kognitif menurut Piaget. Pada  tahap ini, seorang remaja sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoritis formal berdasarkan proposisi-proposisi dan hipotesis, dan dapat mengambil kesimpulan lepas dari apa yang dapat diamati saat itu. Cara berpikir yang abstrak mulai dimengerti. Sifat pokok tahap operasi formal adalah pemikiran deduktif hipotesis, induktif sintifik, dan abstraksi reflektif.
a.      Pemikiran Deduktif Hipotesis
Seseorang yang mengambil kesimpulan dari hal hal yang umum ke hal hal yang khusus. real. Dalam pemikiran remaja, Piaget dapat mendeteksi adanya pemikiran yang logis, meskipun para remaja sendiri pada kenyataannya tidak tahu atau belum menyadari bahwa cara berpikir mereka itu logis.
b.      Pemikiran Induktif Sintifik
Pada tahap pemikiran ini, anak sudah mulai dapat membuat hipotesis, menentukan eksperimen, menentukan variabel control, mencatat hasil, dan menarik kesimpulan dari hal hal khusus ke hal umum.
c.       Pemikiran Abstraksi Reflektif
Anak sudah dapat menyimpulkan dari pengalaman.

Berdasarkan pengalamannya sejak masa kanak-kanak, Piaget berkesimpulan bahwa setiap makhluk hidup memang perlu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat melestarikan kehidupannya. Manusia adalah makhluk hidup, maka manusia juga harus beradaptasi dengan lingkungannya. Berdasarkan hal ini, Piaget beranggapan bahwa perkembangan pemikiran manusia mirip dengan perkembangan biologis, yaitu perlu beradaptasi dengan lingkungannya. Piaget sendiri menyatakan bahwa teori pengetahuannya adalah teori adaptasi pikiran ke dalam suatu realitas, seperti organisme yang beradaptasi dengan lingkungannya.
Menurut Piaget, mengerti adalah suatu proses adaptasi intelektual dimana pengalaman dan ide baru diinteraksikan dengan apa yang sudah diketahui untuk membentuk struktur pengertian yang baru. Setiap orang mempunyai struktur pengetahuan awal yang berperan sebagai suatu filter atau fasilitator terhadap berbagai ide dan pengalaman yang baru. Melalui kontak dengan pengalaman baru,skema dapat dikembangkan dan diubah, yaitu dengan proses asimilasi dan akomodasi. Skema seseorang selalu dikembangkan, diperbaharui, bahkan diubah untuk dapat memahami tanyangan pemikiran dari luar. Proses ini disebut adaptasi pikiran.
Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Dalam pembentukan pengetahuan, Piaget membedakan tiga macam pengetahuan, yakni
1.      Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat fisis suatu objek atau kejadian, seperti bentuk, besar, berat, serta bagaimana objek itu berinteraksi dengan yang lain.
  1. Pengetahuan matematis logis adalah pengetahuan yang dibentuk dengan berpikir tentang pengalaman akan suatu objek atau kejadian tertentu.
  2. Pengetahuan sosial adalah pengetahuan yang didapat dari kelompok budaya dan sosial yang menyetujui sesuatu secara bersama.

Teori konstruktivisme Piaget menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang adalah bentukan (bentukan) orang itu sendiri. Proses pembentukan pengetahuan itu terjadi apabila seseorang mengubah atau mengembangkan skema yang telah dimiliki dalam berhadapan dengan tantangan, dengan rangsangan atau persoalan.
Teori Piaget seringkali disebut konstruktivisme personal atau konstruktivisme perkembangan kognitif karena lebih menekankan pada keaktifan pribadi seseorang dalam mengembangkan kemampuan kognitifnya. Terlebih lagi karena Piaget banyak mengadakan penelitian pada proses seorang anak dalam belajar dan membangun pengetahuannya. Teori kognitif dan teori pengetahuan piaget sangat banyak mempengaruhi bidang pendidikan, terlebih pendidikan kognitif. Tahap-tahap pemikiran Piaget sudah cukup lama mempengaruhi bagaimana para pendidik menyusun kurikulum, memilih metode pengajaran dan juga memilih bahan ajar terutama di sekolah-sekolah.
Dari Piaget tersebut dapat diimplementasikan pada proses pembelajaran disekolah sesuai dengan teori perkembangannya itu sendiri. Bagi guru matematika, teori Piaget jelas sangat relevan, karena dengan menggunakan teori ini, guru dapat mengetahui adanya tahap-tahap perkembangan tertentu pada kemampuan berpikir anak di kelasnya. Dengan demikian guru bisa memberikan perlakuan yang tepat bagi siswanya, misalnya dalam memilih cara penyampaian materi bagi siswa, penyediaan alat-alat peraga dan sebagainya, sesuai dengan tahap perkembangan kemampuan berpikir yang dimiliki oleh siswa masing-masing. Guru perlu mengembangkan inovasi pembelajaran matematika yang dapat membuat matematika mudah dipahami siswa sesuai tingkat kemampuan berpikir yang dimiliki oleh masing-masing siswa.
 
C.    Konstruktivisme Lev Vygotsky (Perkembangan Sosial)
Lev Semenovich Vygotsky tumbuh besar di Gomel, sebuah kota pelabuhan yang di Rusia sebelah barat. Ia merupakan salah satu tokoh termasyhur didalam bidang psikologi. Dia mewariskan pemikirannya yang mendobrak pemikiran psikologi saat itu. Menurutnya, apa yang menjadi perilaku manusia adalah proses penyesuaian diri dengan apa yang sesuai atau tepat (appropriate) dan menjadi harapan masyarakat/lingkungan. Vygotsky berusaha menciptakan sebuah teori yang memadukan dua garis utama perkembangan “garis alamiah ” yang muncul dari dalam diri manusia, dan garis “sosial historis” yang mempengaruhi manusia sejak kecil tanpa bisa dihindari.  
Perkembangan kognitif pada manusia dipengaruhi oleh lingkungan. Manusia bukan hanya berkembang dalam arti sosial biologis, namun fungsi-fungsi psikologis terus meningkat sejak lahir. Fungsi- fungsi psikologi itu seperti persepsi, perhatian, memory, yang terus berkembang karena manusia terus bertransformasi dalam konteks social dan pendidikan. Melalui bahasa, sarana dan kebudayaan, hukum-hukum sosial manusia terus berkembang sampai mencapai fungsi psikologi kognitif tingkat tinggi. Disamping itu Vygotsky telah mengusulkan suatu mekanisme yang didalamnya budaya menjadi bagian dari hakekat setiap individu. Melalui berbagai pikiran yang berkelanjutan, pengetahuan disalurkan dari generasi ke generasi.
Vygotsky berkeyakinan bahwa faktor sosial sangat penting artinya bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk pengembangan konsep,  penalaran logis, dan pengambilan keputusan.  Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial Konstruktivisme sosial menekankan proses transfer pengetahuan melalui interaksi siswa dengan guru, dan dengan siswa lainnya berdasarkan pada pengalaman informal siswa untuk senantiasa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan (Slavin, 1997).   
Konstruktivisme menurut Vygotsky dibedakan tiga macam berdasarkan siapa atau apa yang menentukan dalam pembentukan pengetahuan. Pertama, konstruktivisme psikologis personal yang lebih menekankan bahwa pribadi seseorang sendirilah yang mengkonstruksikan pengetahuan. Kedua, konstruktivisme sosiologis yang lebih menekankan masyarakat sebagai pembentuk pengetahuan. Ketiga, sosiokulturalisme yang menggunakan keduanya, yaitu konstruksi personal dan sosial, dimana dalam pembentukan pengetahuan aspek personal dan sosial saling berkaitan. Teori Vygotsky ini, lebih menekankan pada sosiokulturalisme, namun lebih besar aspek sosialnya.  Dalam sosiokulturalisme, pembentukan pengetahuan tidak hanya menekankan pada keaktifan individu, tetapi juga memperhatikan peran masyarakat, orang lain, dan lingkungan. Aktivitas banyak terjadi dalam bentuk kelompok belajar. Terjadinya aktivitas dalam kelompok memungkinkan terjadinya transfer pengetahuan secara sosial. Penggunaan bahasa yang informal antar sesama anggota kelompok terkadang malah membuat suasana belajar yang santai. Dengan memberikan modifikasi pada bentuk aktivitas tersebut terjadi transfer pengetahuan dan pengalaman.  
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1994), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.  Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah.  Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri (Slavin, 1997).

D.    Teori Belajar Ausubel (Belajar Bermakna)
David Paul Ausubel (1918-2008) merupakan salah seorang ahli psikologi Amerika. Beliau telah memberi banyak sumbangan yang penting khususnya dalam bidang psikologi pendidikan, sains kognitif dan juga pembelajaran pendidikan sains. 
Ausubel (dalam Dahar, 1988:137) mengemukakan bahwa belajar bermakna adalah suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Menurut Ausubel (dalam Dahar, 1988: 134), belajar dapat diklasifikasikan berdasarkan cara menyajikan materi, yaitu:  Penerimaan dan penemuan. Sedangkan berdasarkan cara siswa menerima pelajaran yaitu: belajar bermakna dan belajar hafalan. Dari pengklasifikasian tersebut, Ausubel mengyebutkan bahwa pembelajaran dikatakan bermakna apabila:
- Materi yang akan dipelajari bermakna secara potensial. Materi dikatakan bermakna secara potensial apabila materi tersebut memiliki kebermaknaan secara logis dan gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa.
- Anak yang akan belajar harus bertujuan melaksanakan belajar bermakna sehingga mempunyai kesiapan dan niat dalam belajar bermakna.  
Sebagai seorang pendidik tentunya kita dapat menerapkan pembelajaran bermakna dengan membuat variasi kondisi. Berkaitan dengan ciri-ciri pembelajaran bermakna, Nasution (1982:158) menyebutkan bahwa ciri – ciri atau kondisi – kondisi belajar bermakna adalah sebagai berikut :
a.       Menjelaskan hubungan atau relevansi bahan-bahan baru dengan bahan-bahan lama.
b.      Lebih dulu diberikan ide yang paling umum dan kemudian hal-hal yang lebih terperinci 
c.       Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan lama
d.      Mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum ide yang baru disajikan.
Sebagai seorang guru yang menginginkan siswa mendapat hasil belajar yang maksimal, maka belajar bermakna sangat dianjurkan untu selalu diterapkan. Hal tersebut karena belajar bermakna memiliki beberapa kebaikan. Ausubel dalam (Dahar ,1989 :141) menyebutkan bahwa ada tiga kebaikan dari belajar bermakna yaitu :
- Informasi yang dipelajari secara bermakna dapat lebih lama untuk diingat
- Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip
- Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun seseorang telah lupa pada pengetahuan sebelumnya.
Penerapan teori belajar bermakna memerlukan kreatifitas pendidik unntuk merancang kegiatan belajar mengajar. Sehingga pendidik perlu memahami prinsip-prinsip pembelajaran berdasarkan teori belajar bermakna. Ausubel dalam bukunya yang berjudul ‘Educational Psychology : A cognitive View’ (1968) mengatakan, ada beberapa prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang perlu kita perhatikan, yaitu :
- Pengatur awal
Pengatur awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan mereka pelajari, dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang berhubungan yang dapat digunakan untuk membantu menanamkan pengetahuan baru. Suatu pengatur awal dapat dianggap sebagai pertolongan mental dan disajikan sebelum materi baru.

- Diferensiasi Progresif
Selama belajar bermakna berlangsung, perlu terjadi pengembangan dan elaborasi konsep. Pengembangan konsep berlangsung paling baik,bila unsur-unsur yang paling umum diperkenalkan terlebih dulu, baru kemudian hal-hal yang lebih khusus dan detail dari konsep tersebut.
- Belajar Superordinat
Belajar superordinat terjadi, bila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas.
- Penyesuaian integratif
Dalam mengajar, bukan hanya urutan menurut diferensiasi progresif yang diperhatikan, melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsep baru dihubungkan pada konsep-konsep superordinat. Kita harus memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru dihubungkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit dan bagaimana konsep-konsep yang tingkatnya lebih tinggi sekarang mengambil arti baru.

E.     Implikasi Konstruktivisme Terhadap Proses Belajar Mengajar
Belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman baik alami maupun manusiawi. Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah proses aktif. Beberapa faktor seperti pengalaman, pengetahuan yang telah dipunyai, kemampuan kognitif dan lingkungan berpengaruh terhadap hasil belajar. Kelompok belajar dianggap sangat membantu belajar karena mengandung beberapa unsur yang berguna menantang pemikiran dan meningkatkan harga diri seseorang (Suparno, 1997: 64).
Penekanan utama teori konstruktivisme adalah lebih memberikan tempat kepada siswa/subjek didik dalam proses pembelajaran dari kepada guru atau instruktur. Teori ini berpandangan bahwa siswa yang berinteraksi dengan berbagai obyek dan peristiwa sehingga mereka memperoleh dan memahami pola-pola penanganan terhadap objek dan peristiwa tersebut. Dengan demikian siswa sesungguhnya mampu membangun konseptualisasi dan pemecahan masalah mereka sendiri. Oleh karena itu kemandirian dan kemampuan berinisiatif dalam proses pembelajaran sangat didorong untuk dikembangkan.
Para ahli konstruktivisme memandang bahwa belajar sebagai hasil dari konstruksi mental. Para siswa belajar dengan mencocokkan informasi baru yang mereka peroleh bersama-sama dengan apa yang telah mereka ketahui. Siswa akan dapat belajar dengan baik jika mereka mampu mengaktifkan konstruk pemahaman mereka sendiri. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5). Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor internal pada diri pebelajar dengan faktor eksternal atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berdasarkan uraian di atas, berikut dipaparkan karakteristik atau manfaat proses belajar siswa di kelas dengan pendekatan kontruktivisme.
a.       Siswa terdorong kemandiriannya dan inisiatifnya dalam belajar
Dengan menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver).
b.      Siswa merespon atas pertanyaan terbuka dan kesempatan yang diajukan guru (berpikir reflektif)
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan.
c.       Siswa terdorong untuk berpikir tingkat tinggi
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya
d.      Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas.
e.       Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan pengalaman nyata.
Dalam teori konstruktivisme, mengajar adalah proses membantu seseorang untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Mengajar bukanlah mentransfer pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru) kepada yang belum tahu (murid), melainkan membantu seseorang agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya lewat kegiatan terhadap fenomena dan objek yang ingin diketahui.
Guru harus mengembangkan situasi yang memungkinkan dialog secara kritis. Tugas guru dalam proses ini lebih menjadi mitra yang aktif bertanya, merangsang pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan murid mengungkapkan gagasan dan konsepnya, serta kritis menguji konsep murid. Yang terpenting adalah menghargai dan menerima pemikiran murid apapun adanya sambil menunjukkan apakah pemikiran itu jalan atau tidak. Guru harus menguasai bahan secara luas dan mendalam sehingga dapat lebih fleksibel menerima gagasan murid yang berbeda (Suparno, 1997: 72).
Menurut para ahli konstruktivisme, belajar juga dipengaruhi oleh konteks, keyakinan, dan sikap siswa. Dalam proses pembelajaran para siswa didorong untuk menggali dan menemukan pemecahan masalah mereka sendiri serta mencoba untuk merumuskan gagasan-gagasan dan hipotesis. Mereka diberikan peluang dan kesempatan yang luas untuk membangun pengetahuan awal mereka. Guru memberikan data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif. Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama. Secara garis besar, dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, rancangan pembelajaran harus mentaati prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme, yaitu sebagai berikut:
  1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
  2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
  3. Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep alami
  4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
  5. Siswa menghadapi masalah yang relevan dengan situasi nya
  6. Struktur pembelajaran menekankan pada sebuah pertanyaan di awal pembelajaran
  7. Pendapat siswa dihargai dan dieksplorasi.   
(Suparno, 1997:92)
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu sebagai berikut.
a.       Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
b.      Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada siswa
c.       Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
d.      Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil
e.       Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan
f.       Mengharagai peranan pengalaman kritis dalam belajar
g.      Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
h.      Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa
i.        Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip teori kognitif
j.        Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran, seperti prediksi, infernsi, kreasi, dan analisis
k.      Menekankan bagaimana siswa belajar
l.        Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog dengan siswa lain dan guru
m.    Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif
n.      Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata
o.      Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar
p.      Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
q.      Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata.
Jadi dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

F.     IMPLIKASI KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Matematika  sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah merupakan mata pelajaran yang banyak digunakan dalam bidang yang lain, baik bidang pelajaran yang lain, maupun dalam bidang kehidupan sehari-hai. Pada bidang aritmatika sosial misalnya, banyak penggunaannya dalam Ilmu ekonomi, Ilmu bisnis, per bank kan dll. Dalam ilmu pengukuran, konsep tersebut banyak digunakan dalam bidang transportasri, pertambanan, industry, dll. Konsep Geometri juga banyak digunakan dalam bidang industri, teknologi, geografi, dll. Jadi sangat jelas bahwa Matematika sangat penting untuk dipelajari di sekolah sejak jenjang SD, SMP, SMA, hingga Perguruan tinggi.
Banyak siswa yang beranggapan bahwa Matematika adalah mata pelajaran yang paling sulit di antara mata pelajaran yang lain. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan lemahnya hasil belajar anak pada mata pelajaran ini. Hal tersebut kadang diperparah dengan penghakiman guru terhadap anak yang dianggap memiliki kemampuan matematika rendah dengan mengaggap mereka anak yang tidak bisa dididik. Hal tersebut tentunya dapat membuat anak menjadi down dan semakin sulit bangkit untuk merangkai kembali kemampuan matematikanya.
Teori konstruktivisme memberi kesempatan pada anak untuk mengembangkan kemampuan matematikanya. Melalui proses asimilasi dan akomodasi, siswa bukan hanya menerima ilmu baru, tetapi juga menggunakan ilmu yang sudah dikuasai sebelumnya. Misalnya siswa yang tidak bisa mengalikan 3 x 9. Siswa diarahkan untuk menjumlahkan 9+9+9. Melalui proses tersebut siswa akan bisa mengalikan 7x6, 8x3, 7x9, dan selanjutnya apabila diulang ulang, siswa akan menjadi ingat dan mampu memaknai perkalian. Hal tersebut sesuai dengan teori Piaget dan Ausubel. Dalam proses pembelajaran matematika, siswa dapat diarahkan untuk saling berinteraksi dengan lingkungannya. Misalnya dalam pembelajaran untung rugi, siswa bisa dibawa dalam suasana pasar di kelas. Interaksi antar siswa memungkinkan untuk terjadi dua keuntungan, dari sisi kognitif siswa bisa berkembang dengan adanya trabsfer pengetahuan antar teman, dan dari segi sosial akan terjadi peningkatan kemampuan komunikasi.  Namunn guru harus menjaga agar suasana tetap dalam koridor belajar, karena proses interaksi tersebut dapat berubah menjadi ramai dan lepas dari arah pembelajaran. Di sinilah peran penting guru sebagai fasilitator.
Pendekatan maupun model Pembelajaran matematika berdasarkan prinsip dan ciri konstruktivisme perlu dikembangkan dan diberdayakan oleh pihak guru dan sekolah. Salah satu pendekatan yang sesuai dengan konstruktivisme adalah pendekatan RME (Realistic Mathematics Education). RME dikembangkan dengan mendasarkan konstruktivisme sebagai pedoman (Soedjadi, 1999). Dalam RME, pembelajaran matematika diarahkan untuk menghadirkan situasi kontekstual di kelas. Pembelajaran trigonometri misalnya, guru dapat menghadirkan gambar mengenai perbandingan sudut-sudut pada segitiga siku – siku dengan mengahdirkan gambar pengamatan mengenai kapal yang dilihat dari jarak tertentu yang diketahui sudut elevasi maupun sudut deviasinya. Sedangkan untuk model pembelajaran matematika, guru dapat menggunakan model kooperatif. Misalnya dalam pembelajaran konsep bangun ruang sisi datar (kubus, balok, prisma, limas). Guru membagi siswa dalam kelas dalam 4 grup. Masing masing membahas satu baangun ruang. Kemudian mereka berdiskusi untuk kemudian dipresentasikan. Pembelajaran seperti itu sesuai dengan teori Vygotsky yang mengatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi  manusia dengan melibatkan lingkungan.  
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi filsafat konstruktivisme dalam pembelajaran matematika dapat terselenggara sukses apabila guru sebagai pemandu proses pembelajaran memiliki kemauan yang keras untuk membuat inovasi, kreasi, dan inovasi pembelajran di kelas. Guru matematika tidak seharusnya membuat pembelajaran yang monoton. Artinya tidak hanya merapkan model pembelajaran yang selalu sama pada tia pertemuannnya meskipun model tersebut sesuai dengan prinsip konstruktivisme. Perlu ditekankan bahwa model pembelajaran sebaik apapun belum tentu menghasilkan output yang baik apabila penerapannya tidak memperhatikan kondisi siswa. Karena kondisi di lain tempat dan lain waktu tentunya berbeda beda. Oleh karena itu guru perlu belajar banyak hal mengenai model – model pembelajaran. Variasi variasi pembelajaran yang diadakan guru matematika dalam koridor konstruktivisme diharapkan akan membuat matematika menjadi bidang yang disukai anak. Sehingga pembelajaran matematika akan selalu dinantikan anak setiap hari, dan diharapkan dapat berimbas pada hasil belajar matematika anak.
Untuk lebih memperjelas bagaimana implementasi kontruktivisme, pada makalah ini memberikan contoh penerapan pendekatan kontruktivisme dalam proses pembelajaran matematika  dapat dilihat pada lampiran.


H.  KESIMPULAN
Berdasarkan paparan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa filsafat konstruktivisme merupakan cara berpikir yang menganggap pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Konstruksi tersebut terjadi melalui interaksi manusia terhadap objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan. Pengetahuan akan dianggap benar apabila pengetahuan tersebut dapat diterapkan untuk menyeleseikan permasalahan yang relevan. Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Teori konstruktivisme menekankan untuk lebih memberikan tempat kepada siswa/subjek didik dalam proses pembelajaran daripada guru atau instruktur. Peranan guru dalam pendekatan kontruktivisme bukan menjelaskan seluruh informasi secara langsung kepada siswa, tetapi mengarahkan siswa untuk mengkontruksi pengetahuan.
Sebagai seorang pendidik anak bangsa khususnya di bidang matematika, sangat penting untuk memahami filsafat konstruktivisme. Hal tersebut dikarenakan prinsip – prinsip dalam filsafat konstruktivisme sangat memungkinkan untuk menanamkan konsep matematika secara dalam, aplikatif untuk konsep yang lebih luas, dan aplikatif untuk memecahkan persoalan di kehidupan siswa. Secara garis besar prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme, yaitu sebagai berikut:
  1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
  2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
  3. Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep alami
  4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
  5. Siswa menghadapi masalah yang relevan dengan situasi nya
  6. Struktur pembelajaran menekankan pada sebuah pertanyaan di awal pembelajaran
  7. Pendapat siswa dihargai dan dieksplorasi.
Implementasi filsafat konstruktivisme dalam pembelajaran matematika dapat diwujudkan dengan melaksanakan proses pembelajaran matematika yang variatif sesuai prinsip – prinsip konstruktivisme. Hal tersebut sangat memerlukan kreatifitas dan inovasi dari guru sebagai penguasa situasi pembelajaran. Guru sebagai penggerak filsafat konstruktivisme diharuskan memiliki wawasan luas mengenai model – model pembelajaran. Selain itu tentunya guru harus memiliki kemauan keras untuk menerapkan model – model pembelajaran tersebut di kelas secara variatif dan antusias. Penerapan model pembelajaran yang variatif tersebut diharapkan mampu membuat siswa merasa penasaran untuk menantikan proses pembelajaran selanjutnya. Dari pihak sekolah sebagai instansi pendidikan tentunya harus mendukung dengan menyediakan sarana dan prasarana pendukung konstruktivisme. Sekolah perlu memberikan dan memelihara motivasi kepada guru untuk benar – benar meresapi dan menerapkan prinsip – prinsip pembelajaran berdasarkan konstruktivisme. Siswa diharpkan dilatih untuk selalu aktif dalam arti positif. Artinya siswa aktif dalam membangun  pengetahuan tersebut serta aktif berinteraksi dengan lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA:

Budiningsih, A. C. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Rineka Cipta

Dahar, R. W.1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: P2LPTK Dirjen Dikti

Hudoyo, H. 1998. Mengajar Belajar Matematika Modern. Bandung: Tarsito

Pannen,P.dkk.2005. Konstruktivisme dalam Pembelajaran, PAU-PPAI-UT, Dirjen Dikti

Pranita, Tya. 2010. Teori Konstruktivisme, http://edukasi.kompsiana.com/2010/10/06/teori konstruktivisme (06 April 2012).

Russefendi, dkk. 1992. Materi Pokok Pendidikan Matematika 3. Jakarta: Depdikbud.

Slavin, R.E. 1994. Education Psychology:Teory and Practice (4 th edition). Boston: Allyn and Bacon.

Soedjadi, R. 1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia (konstatasi keadaan masa kini menuju harapan masa depan).Jakarta: Depdiknas

Suherman, E., Turmudi, Suryadi, D., Herman, T., Suhendra, Prabawanto, S., Nurjanah, & Rohayati, A. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Kerjasama JICA dengan FPMIPA UPI

Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan(Cet. Ke-7). Yogyakarta: Kanisius
Suparno, P. 2003. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius.
Susanto, 2010. Filsafat Ilmu. Surakarta: UMS 




Contoh Skenario Pembelajaran dengan Pendekatan Kontruktivisme
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Satuan pendidikan            : SMP
Mata pelajaran       : Matematika
                                    Kelas/Semester      : VII/II
                                Alokasi Waktu          :  4 Jam Pelajaran (2 x Pertemuan )

A.    Standar Kompetensi   :  4. Mengidentifikasi bangun datar segi empat dan besaran - besarannya.
B.     Kompetensi Dasar       : 4.2     Menghitung luas bangun datar
C.     Indikator                     : 4.2 4.  Menemukan rumus luas bangun datar
                               4.2 5.   Menghitung luas bangun datar
D.    Tujuan Pembelajaran siswa diharapkan dapat :
    1. Menemukan rumus luas trapezium, jajagenjang, persegi panjang, persegi melalui luas segitga
         2. Menghitung  luas trapezium, jajagenjang, persegi panjang, persegi
E.     Materi Pembelajaran
         6. bangun datar
         6.2 Luas bangun datar
F.      Metode / Pendekatan
      1. Model Pembelajaran     : Cooperatif
      2. Pendekatan                   : Contextual Teaching and Learning
3.Metode                          : Diskusi
G.    Kegiatan Pembelajaran
    Pertemuan 1
      - Pendahuluan(5’)
        1. Mengingatkan kembali mengenai luas segitiga.(2’)
        2.  Mengingatkan lagi mengenai pengertian alas dan tinggi segitiga (2’)
       3.  Menyatakan bangun datar sebagai bangun yang terbentuk dari dua segitiga (2’)
- Kegiatan inti(65’)
1.      Siswa dibagi menjadi 5 kelompok berbeda (5’)
2.      Guru membagikan lembar kerja yang berisi langkah-langkah untuk menemukan luas segi empat berdasarkan luas segitiga (2’)
3.       Tiap kelompok melakukan diskusi sesuai prosedur dalam lembar kerja untuk                                 mendapatkan data yang diperlukan. Kelompok 1,2,3,4,5 masing masing mendapatkan lembar kerja mencari luas trapezium, luas jajargenjang, luas persegi panjang, k=layang layang, belah ketupat  (20’)
4.      Guru melakukan pengamatan dan bimbingan  seperlunya  selama proses diskusi kelompok berlangsung (3’)
5.      Tiap kelompok melakukan penyusunan gambar / data penemuan rumus                                        luas segi empat (15’)
6.      Tiap kelompok mengolah data/gambar menggunakan aljabar (10’)
7.      Tiap kelompok menyusun paparan untuk presentasi (10’)
      - Penutup (10’)
           1. Siswa dan guru melakukan refleksi proses pembelajaran hari ini. (5’)
       2. Guru menutup pertemuan ini dengan menjelaskan bahwa pertemuan berikutnya adalah mempresentasikan hasil diskusi (5’)

        Pertemuan 2
      - Pendahuluan(10’)
1.Siswa kembali ke kelompok masing masing(5’)
2.Guru mengecek persiapan untuk presentasi(5’)
     - Kegiatan  Inti (60’)
1. Tiap kelompok  mempresentasikan jawabannya di papan tulis.(5x10’)
2. Guru melakukan pengamatan selama presentasi
3. Siswa mengerjakan soal latihan untuk lebih memahami konsep luas bangun datar segiempat.(10’)
     - Penutup (10’)
       1.  Siswa dan guru melakukan refleksi proses pembelajaran hari ini.(5’)
       2. Siswa diberikan tugas terkait peningkatan pemahaman materi (5’)
H.    Sumber Belajar   :
Buku:  
1. Cholik Adinawan,dkk. 2008.MATH for Junior High School 2nd Semester Grade VIII. Jakarta:Erlangga
 2. Dirjen Dikti.2008.Mathematics Student Book for Junior High School Year VIII. Jakarta:Depdiknas.
 Alat:
 1. Model bangun datar
 2. Peralatan pendukung (kertas bekas, gunting, lem, penggaris, alat tuis)

I.       Penilaian :
1. Teknik Penilaian : pencil dan paper tes, non tes
 2.  Instrumen Penilaian : lembar pengamatan

       Mengetahui,                                                                           ……………..
Kepala……………………….                                                      Guru Mata Pelajaran


(.......................................)                                                             (...............................)