IMPLEMENTASI FILSAFAT
KONSTRUKTIVISME
DALAM PROSES
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
MAKALAH
LANDASAN
ILMU PENDIDIKAN
Oleh :
YURIDIS M.D.A
ABSTRAK
Filsafat
konstruktivisme merupakan cara berpikir yang menganggap bahwa cara mendapat pengetahuan
adalah melalui proses konstruksi secara aktif. Konstruksi tersebut terjadi
melalui interaksi manusia terhadap objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan. Teori konstruktivisme menekankan
untuk lebih
memberikan tempat kepada siswa/subjek didik dalam proses pembelajaran daripada guru atau
instruktur. Peranan guru dalam pendekatan kontruktivisme bukan menjelaskan
seluruh informasi secara langsung kepada siswa, tetapi mengarahkan siswa untuk
mengkontruksi pengetahuan. Teori belajar yang mendasarkan pada prinsip
konstruktivisme diantaranya adalah: Teori perkembangan kognitif oleh Jean
Piaget, Teori perkembangan sosial oleh Vygotsky, Teori belajar bermakna oleh
Ausubel. Sebagai seorang pendidik anak bangsa khususnya di bidang matematika,
sangat penting untuk memahami filsafat konstruktivisme. Hal tersebut dikarenakan
prinsip – prinsip dalam konstruktivisme sangat memungkinkan untuk menanamkan
konsep matematika secara dalam, aplikatif untuk konsep yang lebih luas, dan
aplikatif untuk memecahkan persoalan di kehidupan sehari-hari. Implementasi
filsafat konstruktivisme dalam pembelajaran matematika dapat diwujudkan dengan
melaksanakan proses pembelajaran matematika yang variatif sesuai prinsip –
prinsip konstruktivisme.
Kata kunci: filsafat konstruktivisme,
pembelajaran matematika
A.
PENDAHULUAN
Kata filsafat berasal dari
kata bahasa Yunani philosophia yang
terdiri dari dua akar kata
yaitu philien yang berarti cinta dan
sophos yang berarti kebijaksanaan. Arti philosophia
adalah mencintai hal – hal yang bersifat bijaksana.
Menurut Rene Descartes dalam (Susanto, 2010:3), filsafat adalah kumpulan segala
pengetahuan dimana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikannya.
Sedangkan Al-Kindi, seorang filosof muslim pertama, mengatakan bahwa filsafat
adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan
manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori adalah mencari kebenaran,
maka dalam praktiknya pun harus menyesuaikan dengan kebenaran pula. Jadi dapat
dipahami, bahwa Filsafat adalah pengetahuan yang
memandang segala sesuatu untuk disajikan dalam kalimat yang
setepat-tepatnya sehingga tercipta suatu azas, peraturan, kebijaksanaan, dan
metode. Seringkali penyajian definisi tentang sesuatu itu berbeda-beda antara
manusia satu dengan lainnya, tetapi masih memiliki kesamaan pola pikir dalam
menyusun suatu definisi.
Dari filsafat inilah muncul banyak kebijaksanaan,
aturan, azas, dan pendekatan, di berbagai bidang pengetahuan. Salah
satu nya di bidang pendidikan. Pendidikan bertujuan menyiapkan
pribadi yang handal di bidang tertentu untuk kemajuan hidup pribadi tersebut maupun
orang lain. Pendidikan sangat diperlukan dalam membentuk
manusia yang berkualitas. Secara alami, manusia membutuhkan pendidikan semenjak
baru lahir hingga akhir hayat dengan bentuk dan sumber yang berbeda beda. Pendidikan dapat mengembangkan potensi-potensi manusiawi, baik potensi fisik potensi cipta, rasa maupun karsa. Dengan pendidikan, potensi seseorang dapat berkembang dan berfungsi untuk kemajuan hidupnya dan hidup orang lain.
Filsafat
pendidikan mendasarkan filsafat
sebagai pola pikir. Pemikiran para filusuf mengenai
pendidikan sudah banyak menghasilkan teori – teori belajar yang sangat berguna
sebagai pedoman para pelaku dunia pendidikan untuk mengembangkan pendidikan
yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas memerlukan proses yang berkualitas pula. Sejak jaman
dahulu hingga sekarang penelitian di bidang pendidikan yang menghasilkan teori
– teori belajar. Teori – teori tersebut
memiliki tujuan yang searah yaitu terciptanya pendidikan yang bermutu.
Pendidikan yang bermutu tentunya sangat tergantung dari aktivitas dalam
pendidikan tersebut. Salah satu aktivitas dalam pendidikan adalah aktivitas
pembelajaran formal, yaitu aktivitas pembelajaran yang diadakan di sekolah. Filsafat
pendidikan menekankan aktivitas
pembelajaran yang ada di sekolah
sebagai pembahasan utama. Perlu adanya filsafat pendidikan agar para pelaku di
dunia pendidikan khususnya pendidik di kelas memiliki pedoman dan pandangan
mengenai kegiatan belajar mengajar di kelas. Pendidik harus memiliki pedoman
agar kegiatan belajar mengajar nya selalu fokus pada sasaran hendak dicapai.
Jadi, pendidik tidak asal-asalan mengenai aktivitas belajar – mengajar
tersebut. Pendidik perlu merancang pembelajaran yang variatif menyesuaikan
kondisi peserta didik, sehingga diperoleh hasil yang
optimal.
Di era sekarang, masih sering kita dengar berbagai masalah di dunia
pendidikan khususnya masalah sulitnya mata pelajaran matematika. Berdasarkan
pengamatan penulis melalui dialog dengan para siswa, banyak sekali alasan
seorang siswa sangat membenci matematika. Salah satu alasan yang klasik adalah
matematika itu sulit. Sedangkan alasan yang lain: gurunya sering marah, gurunya
kaku, pembelajarannya membosankan, dan sebagian topic matematika dianggap tidak
berguna untuk kehidupan sehari – hari. Berbagai alasan tersebut seharusnya
menjadi cambuk bagi guru. Guru seharusnya semakin merasa tertantang untuk
mengikis habis berbagai kekhawatiran siswa pada matematika. Atau setidaknya
guru harus berusaha meminimalisir permasalahan tersebut dengan menciptakan
sesuatu yang membuat matematika menjadi bagian yang indah dalam kehidupan
siswa.
Salah satu cara yang dapat dijadikan pilihan pendidik untuk menciptakan
citra yang baik terhadap matematika adalah dengan menciptakan proses
pembelajaran yang memberikan kesan mudah dimengerti, dapat diingat secara tahan
lama, dan menyenangkan. Salah satu pendekatan dalam proses pembelajaran yang
sesuai dengan paparan di atas adalah pendekatan kontruktivisme.
Konstruktivisme merupakan aliran filsafat yang
menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan kostruksi kita sendiri (von Glaserfeld
dalam Pannen dkk, 2005:3). Pendidikan harus terpusat pada anak, bukan memfokuskan pada guru atau mata
pelajaran. Anak juga harus dilatih
berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya. Keaktifan anak dalam proses
belajar di kelas harus benar-benar ditumbuhkan dan dipantau. Melalui proses
seperti itu anak akan merasa ikut membangun pengetahuan untuk dirinya sendiri.
Ibarat kita belajar membuat kopi, apabila kita belajar dengan mempraktikan membuat
kopi tentu akan lebih cepat mampu
daripada kita hanya belajar tanpa praktik langsung. Begitu pula untuk
matematika, apabila siswa merasa terlibat dalam menemukan suatu rumus atau
menemukan bagaimana cara memperdalam suatu konsep, tentunya selain mudah
dimengerti tentunya juga akan diingat secara tahan lama. Sehingga pendekatan konstruktivisme diharapkan dapat mengembangkan kemampuan siswa berkaitan dengan pembelajaran matematika, yaitu
penguasaan konsep matematika, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan bernalar
dan berkomunikasi serta kemampuan berpikir kreatif dan inovatif. Dalam makalah ini penulis akan membahas secara lebih detail mengenai apa
itu filsafat konstruktivisme, bagaimana
prinsip-prinsip pembelajaran berdasarkan pendekatan konstruktivisme, dan bagaimana
implementasi filsafat konstruktivisme dalam pembelajaran matematika.
Pengertian
Filsafat Kontruktivisme dalam Pembelajaran
Filsafat kostruktivisme mendasarkan pada pola
pikir dimana pengetahuan dibangun (dikonstruk) siswa secara aktif bukan
diterima secara pasif dari guru (Suparno,1997). Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme bersifat generatif, yaitu menciptakan makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme
sebenarnya bukan merupakan gagasan baru, apa yang kita lewati dalam kehidupan ini merupakan rangkaian pembelajaran, pembentukan karakter, dan
pembinaan diri melalui pengalaman
demi pengalaman. Pengetahuan seseorang akan
terus berkembang secara alami seiring pergantian waktu. Hal tersebut menjadi dasar dari konsep umum dalam teori
konstruktivisme, yaitu pelajar aktif membina pengetahuan
berasaskan pengalaman yang sudah ada. Guru bukan
satu-satunya pusat informasi, tetapi guru diposisikan sebagai fasilitator yang
memfasilitasi siswa dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuanya sendiri (Hudoyo,
1998:5-6).
Dalam
konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka melalui proses penyusunan pengetahuan terdahulu
dengan pembelajaran terbaru. Dapat juga dengan membandingkan
informasi baru dengan
pemahamannya yang sudah ada. Pengetahuan awal ini sebaiknya pengetahuan yang benar – benar dimiliki
siswa. Dengan pengetahuan yang dimiliki siswa sekecil apapun diperlukan untuk melangkah
ke pengetahuan baru. Pendidik harus merancang suatu kegiatan belajar yang dapat
memberikan pengalaman belajar untuk siswa, menyediakan bahan ajar yang menarik,
dan memberikan apresiasi atas gagasan – gagasan siswa. (Suherman dkk, 2001:76).
Meskipun gagasan siswa kurang tepat, tetapi pendidik harus mengupayakan untuk
tidak menghakimi gagasan tersebut dengan negative, tetapi mengarahkan gagasan siswa
kea rah positif dengan mengarahkan pada gagasan yang lebih tepat. Bagaimanapun
juga motivasi dan kesan belajar yang menarik merupakan hal yang sangat
ditekankan dalam teori konstruktivisme.
Menurut pandangan konstruktivisme anak secara aktif membangun pengetahuan
dengan cara terus menerus mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru,
dengan kata lain teori kostruktivisme adalah teori perkembangan kognitiif yang
menekankan peran aktif siswa dalam membangun pemahaman mereka tentang realita
(Slavin, 1994: 225). Jadi, pengetahuan adalah hasil konstruksi
manusia itu sendiri melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman,
dan lingkungan. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat
berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Dalam konstruktivisme,
pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain,
tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan
bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu, keaktifan seseorang yang ingin tahu
amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.
Beberapa kendala dalam konstruktivisme, diantaranya
adalah keterbatasan pengalaman awal dari
siswa, maupun keterbatasan pengetahuan awal siswa. Hal tersebut tentunya bisa
menjadi persoalan bagi siswa maupun guru. Oleh karena itu guru perlu memilih
strategi yang sesuai. Guru bisa memilih apakah perlu memaksa siswa tersebut
berpikir keras memanggil pengetahuan awalnya, atau guru menyajikan lagi
pengetahuan awal itu, atau guru memulai secara tahap demi tahap. Kendala dari
guru adalah kemauan keras dari guru untuk mennyelenggarakan model pembelajaran
yang variatif. Terkadang guru terlalu monoton dengan melaksanakan pembelajaran
yang hanya itu itu saja.
Dalam sejarah perkembangan
konstruktivisme terdapat pemikiran yang
berbeda-beda, namun semua berdasarkan pada asumsi dasar yang sama
tentang bagaimana proses belajar manusia. Beberapa teori konstruktivisme yang paling terkenal adalah konstruktivisme kognitif (Cognitive
Constructivism) oleh Jean Piaget, konstruktivisme
sosial (Social Constructivism) oleh Lev Vygotsky, dan Teori belajar bermakna oleh David Ausubel. Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai tiga pendapat kostruktivisme tersebut.
B.
Konstruktivisme
Jean Piaget (Teori Perkembangan
Kognitif)
Jean Piaget
adalah seorang filusuf yang berasal dari Swiss. Sewaktu muda dia tertarik pada
alam dan senang mengamati kehidupan hewan-hewan di alam bebas, sehingga ia
tertarik pada bidang biologi. Sejak usia 10 tahun ia sudah menerbitkan buku.
Pada usia 21 tahun dia telah mendapat gelar doctor filsafat dengan disertasi
tentang moluska. Setelah itu dia memutuskan untuk mendalami psikologi.
Pendalamannya tentang filsafat meyakinkannya bahwa usaha spekulatif dari
filsafat perlu dilengkapi dengan pendekatan ilmu pengetahuan yang factual.
Pada tahun
1920 Piaget bekerjasama dengan Dr. Theophile Simon mengembangkan tes penalaran
kemudian diujikan. Dari hasil uji tersebut dia menyimpulkan bahwa perbedaan
jawaban dikarenakan perbeadan intelegensi peserta. Berdasarkan pengalaman itu
Piaget mengembangkan pemikiran bahwa: ada perbedaan proses pemikiran anak
dengan orang dewasa. Anak bukan berpikir kurang efisien dari orang dewasa,
tetapi berpikir berbeda dengan orang dewasa. Itulah sebabnya Piaget yakin bahwa
ada perkembangan kognitif dari anak hingga dewasa. Selanjutnya Piaget meneliti
ketiga anaknya sendiri dan menghasilkan teori tentang adanya tahap
sensorimotorik. Piaget menyatakan bahwa pengertian dibentuk dari tindakan anak
bukan dari bahasa anak.
Piaget
mengembangkan teori perkembangan kognitif tentang bagaimana anak belajar.
Menurut Jean Piaget, dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia
berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak
merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan
fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok
sosial. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam
mengembangkan pengetahuan anak.
Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak yang tadinya
memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah
pandangannya menjadi obyektif.
Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal
penting yang menjadi perhatian Piaget yaitu struktur, isi dan fungsi (Piaget ,
1988: 61 ; Turner, 1984: 8).
- Struktur, memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental dan perkembangan logis anak-anak.
- Isi, merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya.
- Fungsi, adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan kemampuan untuk mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Adaptasi, terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi
adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru
ke dalam skema (pola
tingkah laku yang sudah ada) dalam pikirannya..
Proses asimilasi ini berjalan terus
dan tidak menyebabkan perubahan skemata melainkan
perkembangan skemata. Akomodasi, yaitu penciptaan skema baru dan pengubahan
skema lama. Proses pembentukan pengetahuan diperoleh dari hubungannya dengan
lingkungan sosial.. Akomodasi tejadi untuk membentuk
skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang
telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan
suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi
seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka
terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium). Akibat ketidakseimbangan itu
maka terjadilah akomodasi dan struktur kognitif yang ada akan mengalami
perubahan atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini
merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan setimbang
(disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu
akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Menurut Piaget dalam (Suparno,2001:19)., tahap
perkembangan inteluektual anak secara kronologis terjadi 4 tahap:
1.
Tahap sensorimotor : umur 0 – 2 tahun.
intelegensi
anak lebih didasarkan pada tindakan indera anak terhadap lingkungannya, seperti
melihat, meraba, menjamak, mendengar, membau dan lain-lain. Pada tahap
sensorimotor, gagasan anak mengenai suatu benda berkembang dari periode “belum
mempunyai gagasan” menjadi “ sudah mempunyai gagasan” yang belum terakomodasi
dengan baik.
Menurut Piaget, Tahap-tahap perkembangan kognitif anak dikembangkan
dengan perlahan-lahan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap
skema-skema anak karena adanya masukan, rangsangan, atau kontak dengan
pengalaman dan situasi yang baru. Piaget membagi tahap sensorimotor dalam enam
periode, yaitu:
a.
Periode 1 : Refleks
(umur 0 – 1 bulan)
Periode
paling awal tahap sensorimotor ini
berkembang sejak bayi lahir sampai sekitar berumur 1 bulan. Tingkah bayi bersifat refleks,
spontan, tidak disengaja.
b.
Periode 2 :
Kebiasaan (umur 1 – 4 bulan)
Pada
periode perkembangan ini, bayi mulai membentuk kebiasan-kebiasaan pertama.
Kebiasaan dibuat dengan mencoba-coba dan mengulang-ngulang suatu tindakan.
Refleks-refleks yang dibuat diasimilasikan dengan skema yang telah dimiliki dan
menjadi semacam kebiasaan, dan menghasilkan sesuatu. Pada periode ini, seorang bayi mulai membedakan
benda-benda di dekatnya. Bayi mulai mengikuti benda yang bergerak dengan
matanya. Ia juga mulai menggerakkan kepala ke sumber suara yang ia
dengar. Suara dan penglihatan bekerja bersama. Ini merupakan suatu tahap
penting untuk menumbuhkan konsep benda.
c.
Periode 3 :
Reproduksi kejadian yang menarik (umur 4 – 8 bulan)
Pada
periode ini, seorang bayi mulai menjamah dan memanipulasi objek apapun yang ada
di sekitarnya. Tingkah laku bayi semakin berorientasi pada objek dan kejadian di luar
tubuhnya sendiri. Ia mencoba menghadirkan dan mengulang kembali peristiwa yang
menyenangkan diri (reaksi sirkuler sekunder).
d.
Periode 4 :
Koordinasi Skemata (umur 8 – 12 bulan)
Pada
periode ini, seorang bayi mulai membedakan antara sarana dan hasil tindakannya.
Ia sudah mulai menggunakan sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan atau
hasil. Bayi
mulai mempunyai kemampuan untuk menyatukan tingkah laku yang sebelumnya telah
diperoleh untuk mencapai tujuan tertentu. Pada periode ini, seorang bayi mulai
membentuk konsep tentang tetapnya suatu benda. Dari kenyataan bahwa dari
seorang bayi dapat mencari benda yang tersembunyi, tampak bahwa ini mulai
mempunyai konsep tentang ruang.
e.
Periode 5 :
Eksperimen (umur 12 – 18 bulan)
Pada perode ini anak
memperkembangkan cara-cara baru untuk mencapai tujuan dengan cara mencoba-coba
(eksperimen) bila dihadapkan pada suatu persoalan yang tidak dipecahkan dengan
skema yang ada, anak akan mulai mencoba-coba dengan Trial and Error untuk menemukan cara yang
baru guna memecahkan persoalan tersebut atau dengan kata lain ia mencoba
mengembangkan skema yang baru. Pada periode ini, anak lebih mengamati
benda-benda disekitarnya dan mengamati bagaimana benda-benda di sekitarnya
bertingkah laku dalam situasi yang baru. Menurut Piaget, tingkah anak ini
menjadi intelegensi sewaktu ia menemukan kemampuan untuk memecahkan persoalan
yang baru. Pada periode ini pula, konsep anak akan benda mulai maju dan
lengkap. Tentang keruangan anak mulai mempertimbangkan organisasi perpindahan
benda-benda secara menyeluruh bila benda-benda itu dapat dilihat secara
serentak.
f.
Periode
Refresentasi (umur 18 – 24 bulan)
Periode
ini adalah periode terakhir pada tahap intelegensi sensorimotor. Seorang anak
sudah mulai dapat menemukan cara-cara baru yang tidak hanya berdasarkan rabaan
fisis dan eksternal, tetap juga dengan koordinasi internal dalam gambarannya.
Pada periode ini, anak berpindah dari periode intelegensi sensori motor ke
intelegensi refresentatif. Secara mental, seorang anak mulai dapat
menggambarkan suatu benda dan kejadian, dan dapat menyelesaikan suatu persoalan
dengan gambaran tersebut. Konsep benda pada tahap ini sudah maju, refresentasi
ini membiarkan anak untuk mencari dan menemukan objek-objek yang tersembunyi.
Sedangkan konsep keruangan, anak mulai sadar akan gerakan suatu benda sehingga
dapat mencarinya secara masuk akal bila benda itu tidak kelihatan lagi.
2. Tahap Pra operasional : umur 2 -7 tahun.
Dalam tahap ini anak sangat egosentris, mereka sulit menerima pendapat
orang lain. Anak percaya bahwa apa yang mereka pikirkan dan alami juga menjadi
pikiran dan pengalaman orang lain. Mereka percaya bahwa benda yang tidak
bernyawa mempunyai sifat bernyawa. Tahap ini dibedakan atas dua bagian. Pertama,
tahap pra konseptual (2-4 tahun), dimana representasi suatu objek dinyatakan
dengan bahasa, gambar dan permainan khayalan. Kedua, tahap intuitif (4-7
tahun). Pada tahap ini representasi suatu objek didasarkan pada persepsi
pengalaman sendiri, tidak kepada penalaran.
Karakteristik anak pada tahap ini adalah sebagai berikut:
a) Anak dapat mengaitkan pengalaman yang ada di lingkungan
bermainnya dengan pengalaman
pribadinya, dan karenanya ia menjadi egois. Anak tidak
rela bila barang miliknya dipegang oleh orang lain.
b) Anak belum memiliki
kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang membutuhkan pemikiran “yang
dapat dibalik (reversible).” Pikiran
mereka masih bersifat irreversible.
c) Anak belum mampu
melihat dua aspek dari satu objek atau situasi sekaligus, dan belum mampu
bernalar (reasoning) secara individu
dan deduktif.
d) Anak bernalar secara
transduktif (dari khusus ke khusus). Anak juga belum mampu membedakan antara fakta dan fantasi. Kadang-kadang anak
seperti berbohong. Ini terjadi karena anak belum mampu memisahkan kejadian
sebenarnya dengan imajinasi mereka.
e)
Anak belum memiliki konsep kekekalan (kuantitas, materi,
luas, berat dan isi).
f) Menjelang akhir tahap ini, anak mampu memberi
alasan mengenai apa yang mereka percayai. Anak dapat mengklasifikasikan objek
ke dalam kelompok yang hanya mempunyai satu sifat tertentu dan telah mulai
mengerti konsep yang konkrit.
3. Tahap operasi kongkret : umur 7 – 11/12 tahun.
Tahap operasi konkret (concrete operations)
dicirikan dengan perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada
aturan-aturan tertentu yang logis. Anak sudah mengembangkan operasi logis. Operasi itu bersifat
reversible, artinya dapat dimengerti dalam dua arah, yaitu suatu pemikiran yang
dapat dikembalikan
kepada awalnya lagi. Tahap opersi konkret dapat ditandai dengan adanya sistem
operasi berdasarkan apa-apa yang kelihatan nyata/konkret.
Ciri-ciri operasi konkret yang lain, yaitu:
- Adaptasi dengan gambaran yang menyeluruh. Pada tahap ini, seorang anak mulai dapat menggambarkan secara menyeluruh ingatan, pengalaman dan objek yang dialami. Menurut Piaget, adaptasi dengan lingkungan disatukan dengan gambaran akan lingkungan itu.
- Melihat dari berbagai macam segi. Anak ada tahap ini mulai mulai dapat melihat suatu objek atau persoalan secara sediki menyeluruh dengan melihat apek-aspeknya. Ia tidak hanya memusatkan pada titik tertentu, tetapi dapat bersama-sama mengamati titik-titik yang lain dalam satu waktu yang bersamaan.
- Seriasi. Proses seriasi adalah proses mengatur unsur-unsur menurut semakin besar atau semakin kecilnya unsur-unsur tersebut. Menurut Piaget, bila seorang anak telah dapat membuat suatu seriasi maka ia tidak akan mengalami banyak kesulitaan untuk membuat seriasi selanjutnuya.
- Klasifikasi Menurut Piaget, bila anak yang berumur 3 tahun dan 12 tahun diberi bermacam-maam objek dan disuruh membuat klasifikasi yang serupa menjadi satu, ada beberapa kemungkinan yang terjadi.
- Bilangan.Aanak pada tahap praoperasi konkret belum dapat mengerti soal korespondensi satu-satu dan kekekalan, namun pada tahap tahap operasi konkret, anak sudah dapat mengerti soal karespondensi dan kekekalan dengan baik. Dengan perkembangan ini berarti konsep tentang bilangan bagi anak telah berkembang.
- Ruang, waktu, dan kecepatan. Pada umur 7 atau 8 tahun seorang anak sudah mengerti tentang urutan ruang dengan melihat intervaj jarak suatu benda. Pada umur 8 tahun anak sudah dapat mengerti relasi urutan waktu dan koordinasi dengan waktu, dan pada umur 10 atau 11 tahun, anak sadar akan konsep waktu dan kecepatan.
- Probabilitas. Pada tahap ini, pengertian probabilitas sebagai suatu perbandingan antara hal yang terjadi dengan kasus-kasus yang mulai terbentuk.
- Penalaran. Dalam pembicaraan sehari-hari, anak pada tahap ini jarang berbicara dengan suatu alasan,tetapi lebih mengatakan apa yang terjadi. Pada tahap ini, menurut Piaget masih ada kesulitan dalam melihat persoalan secara menyeluruh.
- Egosentrisme dan Sosialisme. Pada tahap ini, anak sudah tidak begitu egosentris dalam pemikirannya. Ia sadar bahwa orang lain dapat mempunyai pikiran lain.
4.
Tahap operasi formal: umur 11/12 ke atas.
Tahap operasi formal (formal operations)
merupakan tahap terakhir dalam perkembangan kognitif menurut Piaget. Pada
tahap ini, seorang remaja sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran
teoritis formal berdasarkan proposisi-proposisi dan hipotesis, dan dapat
mengambil kesimpulan lepas dari apa yang dapat diamati saat itu. Cara berpikir
yang abstrak mulai dimengerti. Sifat pokok tahap operasi formal adalah pemikiran
deduktif hipotesis, induktif sintifik, dan abstraksi reflektif.
a.
Pemikiran Deduktif
Hipotesis
Seseorang yang mengambil
kesimpulan dari hal hal yang umum
ke hal hal yang khusus. real. Dalam pemikiran remaja,
Piaget dapat mendeteksi adanya pemikiran yang logis, meskipun para remaja
sendiri pada kenyataannya tidak tahu atau belum menyadari bahwa cara berpikir
mereka itu logis.
b.
Pemikiran Induktif
Sintifik
Pada
tahap pemikiran ini, anak sudah mulai dapat membuat hipotesis, menentukan eksperimen,
menentukan variabel control, mencatat hasil, dan menarik kesimpulan dari hal hal khusus ke hal umum.
c.
Pemikiran Abstraksi
Reflektif
Anak sudah dapat menyimpulkan dari pengalaman.
Berdasarkan pengalamannya sejak masa
kanak-kanak, Piaget berkesimpulan bahwa setiap makhluk hidup memang perlu
beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat melestarikan kehidupannya. Manusia
adalah makhluk hidup, maka manusia juga harus beradaptasi dengan lingkungannya.
Berdasarkan hal ini, Piaget beranggapan bahwa perkembangan pemikiran manusia
mirip dengan perkembangan biologis, yaitu perlu beradaptasi dengan
lingkungannya. Piaget sendiri menyatakan bahwa teori pengetahuannya adalah
teori adaptasi pikiran ke dalam suatu realitas, seperti organisme yang
beradaptasi dengan lingkungannya.
Menurut Piaget, mengerti adalah suatu proses
adaptasi intelektual dimana pengalaman dan ide baru diinteraksikan dengan apa
yang sudah diketahui untuk membentuk struktur pengertian yang baru. Setiap
orang mempunyai struktur pengetahuan awal yang berperan sebagai suatu filter
atau fasilitator terhadap berbagai ide dan pengalaman yang baru. Melalui kontak
dengan pengalaman baru,skema dapat dikembangkan dan diubah, yaitu dengan proses
asimilasi dan akomodasi. Skema seseorang selalu dikembangkan, diperbaharui,
bahkan diubah untuk dapat memahami tanyangan pemikiran dari luar. Proses ini
disebut adaptasi pikiran.
Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi
kognitif. Dalam pembentukan pengetahuan, Piaget membedakan tiga macam
pengetahuan, yakni
1.
Pengetahuan fisis adalah
pengetahuan akan sifat-sifat fisis suatu objek atau kejadian, seperti bentuk,
besar, berat, serta bagaimana objek itu berinteraksi dengan yang lain.
- Pengetahuan matematis logis adalah pengetahuan yang dibentuk dengan berpikir tentang pengalaman akan suatu objek atau kejadian tertentu.
- Pengetahuan sosial adalah pengetahuan yang didapat dari kelompok budaya dan sosial yang menyetujui sesuatu secara bersama.
Teori konstruktivisme Piaget menjelaskan bahwa
pengetahuan seseorang adalah bentukan (bentukan) orang itu sendiri. Proses
pembentukan pengetahuan itu terjadi apabila seseorang mengubah atau
mengembangkan skema yang telah dimiliki dalam berhadapan dengan tantangan, dengan rangsangan atau
persoalan.
Teori Piaget seringkali disebut konstruktivisme
personal atau konstruktivisme
perkembangan kognitif karena lebih menekankan pada
keaktifan pribadi seseorang dalam
mengembangkan kemampuan kognitifnya. Terlebih lagi karena
Piaget banyak mengadakan penelitian pada proses seorang anak dalam belajar dan
membangun pengetahuannya. Teori kognitif dan teori pengetahuan piaget sangat banyak mempengaruhi
bidang pendidikan, terlebih pendidikan kognitif. Tahap-tahap pemikiran Piaget
sudah cukup lama mempengaruhi bagaimana para pendidik menyusun kurikulum,
memilih metode pengajaran dan juga memilih bahan ajar terutama di
sekolah-sekolah.
Dari
Piaget tersebut dapat diimplementasikan pada proses pembelajaran disekolah
sesuai dengan teori perkembangannya itu sendiri. Bagi guru matematika, teori
Piaget jelas sangat relevan, karena dengan menggunakan teori ini, guru dapat
mengetahui adanya tahap-tahap perkembangan tertentu pada kemampuan berpikir
anak di kelasnya. Dengan demikian guru bisa memberikan perlakuan yang tepat
bagi siswanya, misalnya dalam memilih cara penyampaian materi bagi siswa,
penyediaan alat-alat peraga dan sebagainya, sesuai dengan tahap perkembangan
kemampuan berpikir yang dimiliki oleh siswa masing-masing. Guru perlu mengembangkan inovasi pembelajaran matematika yang dapat
membuat matematika mudah dipahami siswa sesuai tingkat kemampuan
berpikir yang dimiliki oleh masing-masing siswa.
C. Konstruktivisme Lev Vygotsky
(Perkembangan Sosial)
Lev Semenovich Vygotsky tumbuh besar di Gomel,
sebuah kota pelabuhan yang di Rusia sebelah barat. Ia merupakan salah satu
tokoh termasyhur didalam bidang psikologi. Dia mewariskan pemikirannya yang
mendobrak pemikiran psikologi saat itu. Menurutnya, apa yang menjadi perilaku
manusia adalah proses penyesuaian diri dengan apa yang sesuai atau tepat
(appropriate) dan menjadi harapan masyarakat/lingkungan. Vygotsky berusaha menciptakan sebuah teori
yang memadukan dua garis utama perkembangan “garis alamiah ” yang muncul dari
dalam diri manusia, dan garis “sosial historis” yang mempengaruhi
manusia sejak kecil tanpa bisa dihindari.
Perkembangan kognitif pada manusia dipengaruhi oleh
lingkungan. Manusia bukan hanya berkembang dalam arti sosial biologis, namun
fungsi-fungsi psikologis terus meningkat sejak lahir. Fungsi- fungsi psikologi
itu seperti persepsi, perhatian, memory, yang terus berkembang karena manusia
terus bertransformasi dalam konteks social dan pendidikan. Melalui
bahasa, sarana dan kebudayaan, hukum-hukum sosial manusia terus berkembang
sampai mencapai fungsi psikologi kognitif tingkat tinggi. Disamping itu Vygotsky telah
mengusulkan suatu mekanisme yang didalamnya budaya menjadi bagian dari hakekat
setiap individu. Melalui berbagai pikiran yang berkelanjutan, pengetahuan disalurkan dari generasi ke generasi.
Vygotsky berkeyakinan bahwa faktor sosial sangat penting
artinya bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk pengembangan
konsep, penalaran logis, dan pengambilan
keputusan. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut
konstruktivisme sosial Konstruktivisme sosial menekankan proses transfer
pengetahuan melalui interaksi
siswa dengan guru, dan dengan siswa lainnya berdasarkan pada
pengalaman informal siswa untuk senantiasa mengembangkan
strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan (Slavin,
1997).
Konstruktivisme menurut Vygotsky dibedakan tiga macam berdasarkan siapa atau apa yang
menentukan dalam pembentukan pengetahuan. Pertama, konstruktivisme psikologis
personal yang lebih menekankan bahwa pribadi seseorang sendirilah yang
mengkonstruksikan pengetahuan. Kedua, konstruktivisme sosiologis yang lebih
menekankan masyarakat sebagai pembentuk pengetahuan. Ketiga, sosiokulturalisme
yang menggunakan keduanya, yaitu konstruksi personal dan sosial, dimana dalam pembentukan
pengetahuan aspek personal dan sosial saling berkaitan. Teori Vygotsky ini, lebih menekankan
pada
sosiokulturalisme, namun lebih besar aspek sosialnya. Dalam
sosiokulturalisme, pembentukan pengetahuan tidak hanya menekankan pada keaktifan
individu, tetapi juga memperhatikan peran
masyarakat, orang lain, dan lingkungan. Aktivitas
banyak terjadi dalam bentuk kelompok belajar. Terjadinya aktivitas dalam
kelompok memungkinkan terjadinya transfer pengetahuan secara sosial. Penggunaan
bahasa yang informal antar sesama anggota kelompok terkadang malah membuat
suasana belajar yang santai. Dengan memberikan modifikasi pada bentuk aktivitas
tersebut terjadi transfer pengetahuan dan pengalaman.
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1994), yaitu Zone of Proximal
Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development
(ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah
di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat
yang lebih mampu. Scaffolding merupakan pemberian sejumlah
bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi
bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar setelah ia dapat melakukannya Scaffolding merupakan
bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah.
Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan
masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan
tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri (Slavin, 1997).
D.
Teori Belajar Ausubel (Belajar Bermakna)
David Paul Ausubel (1918-2008) merupakan
salah seorang ahli psikologi Amerika. Beliau telah
memberi banyak sumbangan yang penting khususnya dalam bidang psikologi
pendidikan, sains kognitif dan juga pembelajaran pendidikan sains.
Ausubel (dalam Dahar,
1988:137) mengemukakan bahwa belajar bermakna adalah suatu proses
dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang. Menurut
Ausubel (dalam Dahar, 1988: 134), belajar dapat diklasifikasikan berdasarkan
cara menyajikan materi, yaitu:
Penerimaan dan penemuan. Sedangkan berdasarkan
cara siswa menerima pelajaran yaitu: belajar bermakna dan belajar hafalan. Dari
pengklasifikasian tersebut, Ausubel mengyebutkan bahwa pembelajaran
dikatakan bermakna apabila:
-
Materi yang akan dipelajari bermakna secara potensial. Materi dikatakan
bermakna secara potensial apabila materi tersebut memiliki kebermaknaan secara
logis dan gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa.
- Anak
yang akan belajar harus bertujuan melaksanakan belajar bermakna sehingga
mempunyai kesiapan dan niat dalam belajar bermakna.
Sebagai seorang pendidik tentunya kita dapat menerapkan
pembelajaran bermakna dengan membuat variasi kondisi. Berkaitan dengan
ciri-ciri pembelajaran bermakna, Nasution (1982:158) menyebutkan bahwa ciri – ciri atau kondisi – kondisi
belajar bermakna adalah sebagai berikut :
a.
Menjelaskan hubungan atau
relevansi bahan-bahan baru dengan bahan-bahan lama.
b.
Lebih dulu diberikan ide yang
paling umum dan kemudian hal-hal yang lebih terperinci
c.
Menunjukkan persamaan dan
perbedaan antara bahan baru dengan bahan lama
d.
Mengusahakan agar ide yang telah
ada dikuasai sepenuhnya sebelum ide yang baru disajikan.
Sebagai seorang guru yang menginginkan siswa mendapat hasil belajar
yang maksimal, maka belajar bermakna sangat dianjurkan untu selalu diterapkan.
Hal tersebut karena belajar bermakna memiliki beberapa kebaikan. Ausubel
dalam (Dahar ,1989 :141) menyebutkan bahwa ada
tiga kebaikan dari belajar bermakna yaitu :
-
Informasi yang dipelajari secara bermakna dapat lebih lama untuk diingat
-
Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya
untuk materi pelajaran yang mirip
-
Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang
mirip walaupun seseorang telah
lupa pada pengetahuan sebelumnya.
Penerapan teori belajar bermakna
memerlukan kreatifitas pendidik unntuk merancang kegiatan belajar mengajar.
Sehingga pendidik perlu memahami prinsip-prinsip pembelajaran berdasarkan teori
belajar bermakna. Ausubel dalam bukunya yang
berjudul ‘Educational Psychology : A
cognitive View’ (1968) mengatakan,
ada beberapa prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang perlu kita perhatikan,
yaitu :
-
Pengatur awal
Pengatur
awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan mereka pelajari, dan menolong
mereka untuk mengingat kembali informasi yang berhubungan yang dapat digunakan
untuk membantu menanamkan pengetahuan baru. Suatu pengatur awal dapat dianggap
sebagai pertolongan mental dan disajikan sebelum materi baru.
-
Diferensiasi Progresif
Selama
belajar bermakna berlangsung, perlu terjadi pengembangan dan elaborasi konsep.
Pengembangan konsep berlangsung paling baik,bila unsur-unsur yang paling umum
diperkenalkan terlebih dulu, baru kemudian hal-hal yang lebih khusus dan detail
dari konsep tersebut.
-
Belajar Superordinat
Belajar
superordinat terjadi, bila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya
dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas.
-
Penyesuaian integratif
Dalam
mengajar, bukan hanya urutan menurut diferensiasi progresif yang diperhatikan,
melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsep baru dihubungkan
pada konsep-konsep superordinat. Kita harus memperlihatkan secara eksplisit
bagaimana arti-arti baru dihubungkan dan dipertentangkan dengan arti-arti
sebelumnya yang lebih sempit dan bagaimana konsep-konsep yang tingkatnya lebih
tinggi sekarang mengambil arti baru.
E.
Implikasi
Konstruktivisme Terhadap Proses Belajar Mengajar
Belajar
adalah proses mengkonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman baik alami
maupun manusiawi. Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah proses aktif. Beberapa faktor seperti pengalaman, pengetahuan yang telah dipunyai, kemampuan kognitif
dan lingkungan berpengaruh terhadap hasil belajar. Kelompok belajar dianggap
sangat membantu belajar karena mengandung beberapa unsur yang berguna menantang
pemikiran dan meningkatkan harga diri seseorang (Suparno, 1997: 64).
Penekanan
utama teori konstruktivisme adalah lebih memberikan tempat kepada siswa/subjek
didik dalam proses pembelajaran dari kepada guru atau instruktur. Teori ini
berpandangan bahwa siswa yang berinteraksi dengan berbagai obyek dan peristiwa
sehingga mereka memperoleh dan memahami pola-pola penanganan terhadap objek dan
peristiwa tersebut. Dengan demikian siswa sesungguhnya mampu membangun
konseptualisasi dan pemecahan masalah mereka sendiri. Oleh karena itu
kemandirian dan kemampuan berinisiatif dalam proses pembelajaran sangat
didorong untuk dikembangkan.
Para ahli konstruktivisme
memandang bahwa belajar sebagai hasil dari konstruksi mental. Para siswa
belajar dengan mencocokkan informasi baru yang mereka peroleh bersama-sama
dengan apa yang telah mereka ketahui. Siswa akan dapat belajar dengan baik jika
mereka mampu mengaktifkan konstruk pemahaman mereka sendiri. Pandangan tentang anak dari kalangan
konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar
kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran
seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang
dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata
sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar
tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5). Dari pengertian di atas, dapat
dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara
interaktif antara faktor internal
pada diri pebelajar dengan faktor eksternal
atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berdasarkan
uraian di atas, berikut dipaparkan karakteristik atau manfaat proses belajar
siswa di kelas dengan pendekatan kontruktivisme.
a.
Siswa terdorong kemandiriannya dan inisiatifnya dalam
belajar
Dengan
menghargai gagasan-gagasan
atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru
membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang
merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya
berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka
sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver).
b.
Siswa
merespon atas pertanyaan terbuka dan kesempatan yang diajukan guru (berpikir reflektif)
Berfikir
reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan
dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa
merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan
dalam melakukan penyelidikan.
c.
Siswa terdorong untuk berpikir tingkat tinggi
Guru yang
menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk
mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang
sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep
melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan
atau pemikirannya
d.
Siswa
terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi
yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat
membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika
mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan
mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun
pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika
mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang
sangat bermakna akan terjadi di kelas.
e.
Siswa
terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi
kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan
berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan
konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa
untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan
pengalaman nyata.
Dalam teori konstruktivisme, mengajar adalah proses membantu
seseorang untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Mengajar bukanlah mentransfer
pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru) kepada yang belum tahu (murid),
melainkan membantu seseorang agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya
lewat kegiatan terhadap fenomena dan objek yang ingin diketahui.
Guru harus mengembangkan situasi yang memungkinkan dialog
secara kritis. Tugas guru
dalam proses ini lebih menjadi mitra yang aktif bertanya, merangsang pemikiran,
menciptakan persoalan, membiarkan murid mengungkapkan gagasan dan konsepnya,
serta kritis menguji konsep murid. Yang terpenting adalah menghargai dan
menerima pemikiran murid apapun adanya sambil menunjukkan apakah pemikiran itu
jalan atau tidak. Guru harus menguasai bahan secara luas dan mendalam sehingga
dapat lebih fleksibel menerima gagasan murid yang berbeda (Suparno, 1997: 72).
Menurut para
ahli konstruktivisme, belajar juga dipengaruhi oleh konteks, keyakinan, dan
sikap siswa. Dalam proses pembelajaran para siswa didorong untuk menggali dan
menemukan pemecahan masalah mereka sendiri serta mencoba untuk merumuskan
gagasan-gagasan dan hipotesis. Mereka diberikan peluang dan kesempatan yang
luas untuk membangun pengetahuan awal mereka. Guru memberikan data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi
interaktif. Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan
konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena
alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan
abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara
bersama-sama. Secara garis besar, dalam
upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, rancangan pembelajaran harus mentaati prinsip-prinsip pembelajaran
konstruktivisme, yaitu sebagai berikut:
- Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
- Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
- Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep alami
- Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
- Siswa menghadapi masalah yang relevan dengan situasi nya
- Struktur pembelajaran menekankan pada sebuah pertanyaan di awal pembelajaran
- Pendapat siswa dihargai dan dieksplorasi.
(Suparno,
1997:92)
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan
tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa.
Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata
lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat
ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu sebagai berikut.
a.
Menekankan pada proses belajar,
bukan proses mengajar
b.
Mendorong terjadinya kemandirian dan
inisiatif belajar pada siswa
c.
Memandang siswa sebagai pencipta
kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
d.
Berpandangan bahwa belajar merupakan
suatu proses, bukan menekan pada hasil
e.
Mendorong siswa untuk melakukan
penyelidikan
f.
Mengharagai peranan pengalaman
kritis dalam belajar
g.
Mendorong berkembangnya rasa ingin
tahu secara alami pada siswa
h.
Penilaian belajar lebih menekankan
pada kinerja dan pemahaman siswa
i.
Berdasarkan proses belajarnya pada
prinsip-prinsip teori kognitif
j.
Banyak menggunakan terminologi
kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran, seperti prediksi, infernsi,
kreasi, dan analisis
k.
Menekankan bagaimana siswa belajar
l.
Mendorong siswa untuk berpartisipasi
aktif dalam dialog dengan siswa lain dan guru
m.
Sangat mendukung terjadinya belajar
kooperatif
n.
Melibatkan siswa dalam situasi dunia
nyata
o.
Menekankan pentingnya konteks siswa
dalam belajar
p.
Memperhatikan keyakinan dan sikap
siswa dalam belajar
q.
Memberikan kesempatan kepada siswa
untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman
nyata.
Jadi dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme lebih
menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka.
Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan
dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
F. IMPLIKASI
KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Matematika
sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah merupakan mata pelajaran
yang banyak digunakan dalam bidang yang lain, baik bidang pelajaran yang lain,
maupun dalam bidang kehidupan sehari-hai. Pada bidang aritmatika sosial
misalnya, banyak penggunaannya dalam Ilmu ekonomi, Ilmu bisnis, per bank kan
dll. Dalam ilmu pengukuran, konsep tersebut banyak digunakan dalam bidang
transportasri, pertambanan, industry, dll. Konsep Geometri juga banyak
digunakan dalam bidang industri, teknologi, geografi, dll. Jadi sangat jelas
bahwa Matematika sangat penting untuk dipelajari di sekolah sejak jenjang SD,
SMP, SMA, hingga Perguruan tinggi.
Banyak siswa yang beranggapan bahwa Matematika adalah
mata pelajaran yang paling sulit di antara mata pelajaran yang lain. Banyak
hasil penelitian yang menunjukkan lemahnya hasil belajar anak pada mata
pelajaran ini. Hal tersebut kadang diperparah dengan penghakiman guru terhadap
anak yang dianggap memiliki kemampuan matematika rendah dengan mengaggap mereka
anak yang tidak bisa dididik. Hal tersebut tentunya dapat membuat anak menjadi
down dan semakin sulit bangkit untuk merangkai kembali kemampuan matematikanya.
Teori konstruktivisme memberi kesempatan pada anak
untuk mengembangkan kemampuan matematikanya. Melalui proses asimilasi dan
akomodasi, siswa bukan hanya menerima ilmu baru, tetapi juga menggunakan ilmu
yang sudah dikuasai sebelumnya. Misalnya siswa yang tidak bisa mengalikan 3 x
9. Siswa diarahkan untuk menjumlahkan 9+9+9. Melalui proses tersebut siswa akan
bisa mengalikan 7x6, 8x3, 7x9, dan selanjutnya apabila diulang ulang, siswa
akan menjadi ingat dan mampu memaknai perkalian. Hal tersebut sesuai dengan
teori Piaget dan Ausubel. Dalam proses pembelajaran matematika, siswa dapat
diarahkan untuk saling berinteraksi dengan lingkungannya. Misalnya dalam
pembelajaran untung rugi, siswa bisa dibawa dalam suasana pasar di kelas.
Interaksi antar siswa memungkinkan untuk terjadi dua keuntungan, dari sisi
kognitif siswa bisa berkembang dengan adanya trabsfer pengetahuan antar teman,
dan dari segi sosial akan terjadi peningkatan kemampuan komunikasi. Namunn guru harus menjaga agar suasana tetap
dalam koridor belajar, karena proses interaksi tersebut dapat berubah menjadi
ramai dan lepas dari arah pembelajaran. Di sinilah peran penting guru sebagai
fasilitator.
Pendekatan maupun model Pembelajaran matematika berdasarkan
prinsip dan ciri konstruktivisme perlu dikembangkan dan diberdayakan oleh pihak
guru dan sekolah. Salah satu pendekatan yang sesuai dengan konstruktivisme
adalah pendekatan RME (Realistic Mathematics Education). RME dikembangkan
dengan mendasarkan konstruktivisme sebagai pedoman (Soedjadi, 1999). Dalam RME,
pembelajaran matematika diarahkan untuk menghadirkan situasi kontekstual di
kelas. Pembelajaran trigonometri misalnya, guru dapat menghadirkan gambar
mengenai perbandingan sudut-sudut pada segitiga siku – siku dengan mengahdirkan
gambar pengamatan mengenai kapal yang dilihat dari jarak tertentu yang
diketahui sudut elevasi maupun sudut deviasinya. Sedangkan untuk model
pembelajaran matematika, guru dapat menggunakan model kooperatif. Misalnya dalam
pembelajaran konsep bangun ruang sisi datar (kubus, balok, prisma, limas). Guru
membagi siswa dalam kelas dalam 4 grup. Masing masing membahas satu baangun
ruang. Kemudian mereka berdiskusi untuk kemudian dipresentasikan. Pembelajaran
seperti itu sesuai dengan teori Vygotsky yang mengatakan bahwa pengetahuan
merupakan hasil konstruksi manusia
dengan melibatkan lingkungan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi
filsafat konstruktivisme dalam pembelajaran matematika dapat terselenggara sukses
apabila guru sebagai pemandu proses pembelajaran memiliki kemauan yang keras
untuk membuat inovasi, kreasi, dan inovasi pembelajran di kelas. Guru
matematika tidak seharusnya membuat pembelajaran yang monoton. Artinya tidak
hanya merapkan model pembelajaran yang selalu sama pada tia pertemuannnya
meskipun model tersebut sesuai dengan prinsip konstruktivisme. Perlu ditekankan
bahwa model pembelajaran sebaik apapun belum tentu menghasilkan output yang
baik apabila penerapannya tidak memperhatikan kondisi siswa. Karena kondisi di
lain tempat dan lain waktu tentunya berbeda beda. Oleh karena itu guru perlu
belajar banyak hal mengenai model – model pembelajaran. Variasi variasi
pembelajaran yang diadakan guru matematika dalam koridor konstruktivisme diharapkan
akan membuat matematika menjadi bidang yang disukai anak. Sehingga pembelajaran
matematika akan selalu dinantikan anak setiap hari, dan diharapkan dapat
berimbas pada hasil belajar matematika anak.
Untuk lebih memperjelas bagaimana implementasi
kontruktivisme, pada makalah ini memberikan contoh penerapan pendekatan
kontruktivisme dalam proses pembelajaran matematika dapat dilihat pada lampiran.
H. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa filsafat
konstruktivisme merupakan cara berpikir yang menganggap pengetahuan adalah
hasil konstruksi manusia. Konstruksi tersebut terjadi melalui interaksi manusia
terhadap objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan. Pengetahuan akan dianggap
benar apabila pengetahuan tersebut dapat diterapkan untuk menyeleseikan
permasalahan yang relevan. Teori konstruktivisme
didefinisikan sebagai pembelajaran yang
bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang
dipelajari. Teori konstruktivisme menekankan untuk lebih memberikan tempat kepada siswa/subjek didik
dalam proses pembelajaran daripada guru atau
instruktur. Peranan guru dalam pendekatan kontruktivisme bukan menjelaskan seluruh informasi secara langsung kepada siswa, tetapi mengarahkan
siswa untuk mengkontruksi pengetahuan.
Sebagai seorang pendidik anak bangsa khususnya di bidang matematika, sangat
penting untuk memahami filsafat konstruktivisme. Hal tersebut dikarenakan
prinsip – prinsip dalam filsafat konstruktivisme sangat memungkinkan untuk
menanamkan konsep matematika secara dalam, aplikatif untuk konsep yang lebih
luas, dan aplikatif untuk memecahkan persoalan di kehidupan siswa. Secara garis
besar prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme,
yaitu sebagai berikut:
- Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
- Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
- Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep alami
- Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
- Siswa menghadapi masalah yang relevan dengan situasi nya
- Struktur pembelajaran menekankan pada sebuah pertanyaan di awal pembelajaran
- Pendapat siswa dihargai dan dieksplorasi.
Implementasi filsafat konstruktivisme dalam pembelajaran matematika dapat
diwujudkan dengan melaksanakan proses pembelajaran matematika yang variatif
sesuai prinsip – prinsip konstruktivisme. Hal tersebut sangat memerlukan
kreatifitas dan inovasi dari guru sebagai penguasa situasi pembelajaran. Guru
sebagai penggerak filsafat konstruktivisme diharuskan memiliki wawasan luas
mengenai model – model pembelajaran. Selain itu tentunya guru harus memiliki
kemauan keras untuk menerapkan model – model pembelajaran tersebut di kelas
secara variatif dan antusias. Penerapan model pembelajaran yang variatif
tersebut diharapkan mampu membuat siswa merasa penasaran untuk menantikan
proses pembelajaran selanjutnya. Dari pihak sekolah sebagai instansi pendidikan
tentunya harus mendukung dengan menyediakan sarana dan prasarana pendukung
konstruktivisme. Sekolah perlu memberikan dan memelihara motivasi kepada guru
untuk benar – benar meresapi dan menerapkan prinsip – prinsip pembelajaran
berdasarkan konstruktivisme. Siswa diharpkan dilatih untuk selalu aktif dalam
arti positif. Artinya siswa aktif dalam membangun pengetahuan tersebut serta aktif berinteraksi
dengan lingkungannya.
DAFTAR
PUSTAKA:
Budiningsih, A. C. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Rineka Cipta
Dahar, R. W.1989. Teori-teori
Belajar. Jakarta: P2LPTK Dirjen Dikti
Hudoyo, H. 1998.
Mengajar Belajar Matematika Modern.
Bandung: Tarsito
Pannen,P.dkk.2005. Konstruktivisme dalam Pembelajaran, PAU-PPAI-UT, Dirjen Dikti
Pranita, Tya. 2010. Teori Konstruktivisme, http://edukasi.kompsiana.com/2010/10/06/teori
konstruktivisme (06 April 2012).
Russefendi, dkk. 1992. Materi Pokok Pendidikan Matematika 3. Jakarta: Depdikbud.
Slavin,
R.E. 1994. Education Psychology:Teory and
Practice (4 th edition). Boston: Allyn and Bacon.
Soedjadi,
R. 1999. Kiat Pendidikan Matematika di
Indonesia (konstatasi keadaan
masa kini menuju harapan masa depan).Jakarta: Depdiknas
Suherman,
E., Turmudi, Suryadi, D., Herman, T., Suhendra, Prabawanto, S., Nurjanah, &
Rohayati, A. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung: Kerjasama JICA dengan FPMIPA UPI
Suparno, P.
1997. Filsafat Konstruktivisme dalam
Pendidikan(Cet. Ke-7). Yogyakarta: Kanisius
Suparno, P. 2003. Teori
Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius.
Susanto, 2010. Filsafat Ilmu. Surakarta:
UMS
Contoh Skenario
Pembelajaran dengan Pendekatan Kontruktivisme
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Satuan
pendidikan : SMP
Mata
pelajaran : Matematika
Kelas/Semester : VII/II
Alokasi Waktu : 4 Jam Pelajaran (2 x Pertemuan )
A. Standar
Kompetensi : 4. Mengidentifikasi bangun datar segi empat dan besaran - besarannya.
B. Kompetensi
Dasar : 4.2 Menghitung
luas bangun datar
C. Indikator
:
4.2 4. Menemukan rumus luas bangun datar
4.2
5. Menghitung luas bangun datar
D. Tujuan
Pembelajaran siswa diharapkan dapat :
1. Menemukan rumus luas trapezium, jajagenjang, persegi panjang, persegi
melalui luas segitga
2. Menghitung luas
trapezium, jajagenjang, persegi panjang, persegi
E. Materi
Pembelajaran
6. bangun datar
6.2 Luas bangun datar
F. Metode
/ Pendekatan
1. Model Pembelajaran : Cooperatif
2. Pendekatan : Contextual
Teaching and Learning
3.Metode : Diskusi
G. Kegiatan
Pembelajaran
Pertemuan
1
- Pendahuluan(5’)
1. Mengingatkan kembali mengenai luas segitiga.(2’)
2.
Mengingatkan
lagi mengenai pengertian alas dan tinggi segitiga (2’)
3. Menyatakan bangun datar sebagai bangun yang terbentuk
dari dua segitiga (2’)
-
Kegiatan inti(65’)
1. Siswa
dibagi menjadi 5 kelompok berbeda
(5’)
2. Guru membagikan lembar kerja yang berisi langkah-langkah
untuk menemukan luas segi empat berdasarkan luas segitiga (2’)
3. Tiap
kelompok melakukan diskusi sesuai
prosedur dalam lembar kerja untuk mendapatkan
data yang diperlukan. Kelompok
1,2,3,4,5 masing masing mendapatkan lembar kerja mencari luas trapezium, luas
jajargenjang, luas persegi panjang, k=layang layang, belah ketupat (20’)
4. Guru
melakukan pengamatan dan bimbingan
seperlunya selama proses diskusi
kelompok berlangsung (3’)
5. Tiap
kelompok melakukan penyusunan gambar / data penemuan rumus luas segi empat (15’)
6. Tiap
kelompok mengolah data/gambar menggunakan aljabar (10’)
7. Tiap
kelompok menyusun paparan untuk presentasi (10’)
- Penutup (10’)
1.
Siswa dan guru melakukan refleksi proses pembelajaran hari ini. (5’)
2. Guru menutup
pertemuan ini dengan menjelaskan bahwa pertemuan berikutnya adalah
mempresentasikan hasil diskusi (5’)
Pertemuan
2
- Pendahuluan(10’)
1.Siswa
kembali ke kelompok masing masing(5’)
2.Guru
mengecek persiapan untuk presentasi(5’)
- Kegiatan
Inti (60’)
1.
Tiap kelompok mempresentasikan
jawabannya di papan tulis.(5x10’)
2.
Guru melakukan pengamatan selama presentasi
3.
Siswa mengerjakan soal latihan untuk lebih
memahami
konsep luas bangun datar segiempat.(10’)
- Penutup (10’)
1.
Siswa dan guru melakukan refleksi proses pembelajaran hari ini.(5’)
2. Siswa diberikan tugas terkait
peningkatan pemahaman materi (5’)
H. Sumber
Belajar :
Buku:
1. Cholik Adinawan,dkk. 2008.MATH
for Junior High School 2nd Semester Grade VIII. Jakarta:Erlangga
2. Dirjen
Dikti.2008.Mathematics
Student Book for Junior High School Year VIII.
Jakarta:Depdiknas.
Alat:
1. Model bangun datar
2. Peralatan pendukung (kertas bekas, gunting, lem, penggaris, alat
tuis)
I. Penilaian
:
1. Teknik Penilaian :
pencil dan paper tes, non tes
2.
Instrumen Penilaian : lembar pengamatan
Mengetahui,
……………..…
Kepala………………………. Guru
Mata Pelajaran
(.......................................) (...............................)